Friday, June 05, 2009

Gula Sabu ... panganan unik sekaligus bermanfaat

Tidak semua orang di daerah lain di luar NTT tahu dan ngerti apa itu Gula Sabu ..
Aku pernah search lewat Google dengan kata kunci Gula Sabu dan hasilnya minim sekali , yang muncul di hasil searching malah Sabu-sabu .. he..he.. lucu memang Gula Sabu bukan jenis psikotropika khan ..
Gula Sabu merupakan panganan khas Pulau Sabu yang sangat unik dan bermanfaat . Kenapa begitu ? Sepintas kayaknya aneh kalau disebut unik karena seperti kebanyakan jenis Gula yang diolah dari pohon enau / tuak / kelapa , semuanya pasti mirip dan bisa ditemui di hampir semua daerah di seantero Kepulauan Nusantara. Yang menjadukannya unik adalah Gulanya tidak dibuat sampai berbentuk Padat melainkan diolah sampai berbentuk cair saja. Sepintas , Gula sabu kelihatan seperti Madu ,tetapi jika dicermati lebih seksama strukturnya lebih kental. Gula Sabu merupakan hasil olahan pertanian mayoritas penduduk Pulau Sabu dan Raijua. Hal ini tidaklah aneh karena Pohon Tuak sebagai sumber nira ( bahan baku pembuatan Gula Sabu ) bertebaran merata di setiap sudut Pulau itu. Gula Sabu bahasa sabunya 'Donahu' kalau lengkapnya 'Donahu Hawu'.
Bagi Orang Sabu , Gula Sabu adalah panganan utama selain beras dan jagung yg melengkapi keseharian mereka ditengah kondisi geografis Pulau Sabu yang rawan kekeringan . Jika terjadi gagal panen pada tanaman palawija dan stok makanan menipis , maka Gula Sabu juga dipakai sebagai panganan untuk survive.
Gimana sih cara mencicipi Gula Sabu ? Gampang , hanya disendok atau diambil menggunakan jari, kemudian diputer2 sejenak sampai tidak menetes lagi terus happpp ..di telan deh ... jangan lupa setalah itu minum air yang banyak .. dijamin pasti kenyang ... Hebatkan Gula Sabu, hanya dengan beberapa sendok saja bisa menghilangkan rasa lapar.
Cara lain mencicipi nikmatnya Gula Sabu adalah dengan membuatnya dalam bentuk minuman , cukup tuangkan air dan gula kedalam cangkir ( mug ) terus diaduk dan diminum seperti minum teh . Kalau aku sih suka cara yang ke dua .. lebih maknyus...he..he..
Selain sebagai pengilang rasa lapar , berdasarkan pengalaman saya , Gula Sabu bisa dimanfaatkan sebagai obat penghilang panas dalam dan juga penghilang rasa pering di lambung akibat sakit magh. Selain ke dua cara penyajian tersebut , Gula Sabu juga bisa dicampurkan dengan bahan - bahan lain untuk dibuat jenis panganan yang lain.
Sebagai bahan yang bermanfaat , Gula Sabu juga memiliki nilai jual yang lumayan
menjanjikan. Sejak aku kecil , saudara-saudara ku sering datang dari Sabu ke Ende untuk berdagang Gula Sabu. Harganya cukup bersaing dengan produk olahan lainnya.
Demikian sekilas ulasan tentang Gula Sabu , semoga bisa memberikan sedikit pencerahan bagi yang belum tahu tentang Gula Sabu dan juga mengembalikan memori tentang citarasa Gula Sabu bagi Orang Sabu yang ada di perantauan ..he..he..( aku aja sudah 5 tahun ngga pernah merasakan nikmatnya minum gula Sabu ).
Saking berperannya Gula Sabu dalam kehidupan Orang Sabu hingga ada lagu Sabu yg endingnya gini "Bh'ole be'lo rai di rai hawu , rai due donahu" artinya 'jangan rupa tanah kita tanah sabu, tanah tuak dan gula" .. I miss Donahu Hawu ..

Wednesday, March 18, 2009

AGAMA SUKU SABU (Fokus pada Wilayah Habba)

DIKUTIP DARI : Face Book , Group Mira Ke'di Hari
Ditulis oleh : Valentin Riwu Kaho wroteon March 2, 2009 at 1:43pm

I. Pendahuluan (Latar Belakang).
Sabu secara geografis merupakan salah satu pulau di wilayah Propinsi Nusa tenggara Timur (121045 dan 12204, Belahan Barat; 10027 dan 10038, Lingkaran Selatan) Yang terletak secara terndiri di tengah Laut Sawu. Menyebut Sabu maka tidak telepas dengan sebuah pulau kecil didekatnya yankni pulau Raijua. Jadi keduanya adalah satu kesatuan baik mengenai adat maupun keturunan walaupun berbeda pulau.
Dalam Kehidupan Orang Sabu khususnya dalam kehidupan religi tidak terlepas kaitannya dengan aspek kehidupan lain yakni bidang, ekonomi sosial dan budaya atau adat istiadat. Hal ini bermula dari pandangan bahwa semuanya harus didasarkan pada keselarasan dengan agama suku, atau atas pandangan bahwa segala sesuatu adalah merupakan pemberian Tuhan Yang Maha Kuasa (Deo Mone Ae) sehingga segalanya harus dilakukan dalam suasan yang religi dalam kehidupan. Dalam segala segi kehidupan, setiap kegiatan-kegiatan selalu diawali dengan ritual-ritual dengan maksud memohon bimbingan, petunjuk, berkat serta penjagaan dari Deo.
Dalam Tulisan ini saya coba menulis mengenai Agama Suku Sabu yang lebih menekankan pada Penyelenggaraan serta pemahaman yang ada di wilayah Seba (Habba). Hal ini disebabkan karena pada beberapa daerah lain dI Sabu yang memiliki corak-corak yang agak berlainnan, walaupun tidak signifikan namun dimaksud agar tidak terjadi salah pengertian dari pihak lain. Di samping itu juga kebetulan saya adalah salah seorang dari keturunan Sabu yang leluhur berasal dari wilayah Habba (Namata), yang mungkin sedikit lebih mengenal tentang peristiwa, penyelenggaraan Agama Suku Sabu di Habba. Tulisan ini didasarkan atas pengalaman, beberapa buku refrensi dan ceritra orang tua (leluhur).

II. Tentang Daerah Asal Orang Sabu (Sejarah).
Tentang asal usul orang Sabu dan negeri asalnya, terdapat beberapa versi menurut ceritera beberapa orang Mone Ama dan mereka mengetahui tentang sejarah Sabu. Meskipun demikian, dari tuturan mereka itu terdapat satu kesimpulan yang sama bahwa nenek-moyang orang Sabu berasal dari suatu negeri yang sangat jauh, letaknya di ufuk Barat pulau Sabu.
Sejarah dunia memberitahukan bahwa antara abad ke-3 sampai abad ke-4 ada arus perpindahan penduduk yang cukup banyak dari India Selatan, ke kepualauan Nusantara. Perpindahan penduduk itu disebabkan karena pada kurun waktu terjadi peperangan yang berkepanjangan di India Selatan, Raja Chandragupta II yang memerintah di India Utara dari tahun 375-413 telah menyerang dan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil, teramasuk kerajaan Gujarat di India Selatan. Keamanan yang buruk telak mendorong orang untuk mencari daerah pemukiman baru yang lebih aman.
Jauh hari sebelumnya, telah tersebar berita bahwa di kepulauan Nusantara, di mana pengaruh India sudah semakin besar, adalah negeri yang aman, tenteram dan makmur. Maka terbitlah dorongan kuat diantara penduduk untuk meninggalkan negeri asalnya menuju negeri baru yaitu kepulauan Nusantara.
Dari syair-syair kuno dalam bahasa Sabu dapat diperoleh informasi sejarah mengenai negeri asal dari leluhur Sabu. Syair-syair itu mengungkapkan bahwa negeri asal orang Sabu terletak sangat jauh di seberang laut di sebelah Barat yang bernama Hura. Dalam peta India memang terdapat Kota Surat di Wilayah Gujarat, India Selatan. Kota Surat terletak di sebelah Kota Bombay, teluk Cambay, India Selatan. Daerah Gujarat pada waktu itu sudah di kenal di mana-mana sebagai pusat perdagangan di India Selatan. Kota dangang yang terkenal adalah Koromandel.
Orang Sabu tidak dapat melafalkan kata Surat dan Gujarat itu sebagaimana mestinya. Lidah mereka menyebutnya Hura.
Sebelum perpindahan penduduk itu, antara abad ke 2-3 sudah terjalin hubungan perdagangan antara kepulauan Nusantara dengan pedagang-pedagang dari India Selatan. Pengaruh India Selatan besar sekali terhadap kepualauan Nusantara. Pada abad ke-2 sampai abad-16 telah berdiri kerajaan-kerajaan Hindu-Budha, mula-mula di Jawa, kemudian di Sumatera dan Kalimantan. Dari antara kerajaan-kerajaan itu yang paling terkenal dan paling besar pengaruhnya di kepulauan Nusantara adalah kerajaan Majapahit. Sisa-sisa pengaruhnya masih dapat ditemui di kalangan masyarakat Sabu.
Para pendatang dari Gujarat ini ketika tiba di pula Raijua dapat hidup bersama dengan para imigran yang berasal perpindahan penduduk gelombang kedua yang berasimilasi dengan imigran gelombang pertama, meskipun pengaruh mereka tampak dominan.
Menurut ahli sejarah sebelum India Selatan, Nusantara sudah dihuni oleh Austronesia kira-kira 2000 SM. Kemudian disusul ras Mongoloid, lewat Muangthai, Malasyia Barat dan menyebar di Nusantara, kira-kira 500 SM.
Rombongan India Selatan menjadi penghuni pertama pulau Raijua di bawah pimpinan Kika Ga. Setelah kawin mawin mereka kemudian menyebar di pulau Sabu dan Raijua menjadi cikal bakal orang Sabu.

III. Pengaruh Majapait (Hindu-Jawa).
Pada abad ke 14 sampai awal abad ke 16, Majapahit berhasil menguasai dan menyatukan Nusantara. Majapahit adalah sebuah kerajaan Hindu-Jawa. Meskipun demikian setiap kerajaan di bawah kekuasaanya memiliki otonomi seluas-luasnya untuk mengurus rumah-tangganya dengan satu persyaratan yakni tetap mengakui kedaulatan Majapahit lewat pemberian upeti. Bukti pengaruh Majapahit terhadap Sabu dapat dilihat dalam:
a. Mitos (ceritra rakyat) yang meberikan penghormatan terhap raja Majapahit. Sehingga muncul ceritra bahwa Raja mjapahit dan istrinya pernah tinggal di Ketita di pulau Raijua dan pulau Sabu.
b. Ada kewajiban bagi setiap rumah tangga untuk memelihara babi yang setiap saat akan dikumpul untuk dipersembahkan kepada Raja Majapahit.
c. Ada batu peringatan untuk Raja Majapahit yang disebut wowadu Maja dan sebuah sumur Maja di wilayah Daihuli dekat Ketita.
d. Setiap 6 tahun sekali ada upacar yang diadakan oleh salah satu Udu di Raijua, Udu Nadega yang diberi julukan Ngelai yang menurut ceritra adalah keturunan orang-orang Majapahit.
e. Motif pada tenunan selimut orang Sabu yang bergambar Pura.
f. Di Mesara ada desa yang bernama Tanah Jawa yang penduduknya mempunyai profil seperti orang Jawa. Sedangkan di Mesara juga ada tempat dekat pelabuhan Mesara yang disebut dengan Mulie yang diambil dari bahasa Jawa yakni Mulih yang berarti pulang.


IV. Pembagian Wilayah dan Penyebaran Penduduk di Sabu.
Pembagian wilayah ini terjadi pada masa Wai Waka (generasi*) ke 18). Pembagian ini dibuat berdasarkan jumlah anak-anaknya yang dibagikan. Pembagian tersebut adalah:
a. Dara Wai mendapat wilayah Habba (Seba)
b. Kole Wai mendapat wilayah Mehara (Mesara)
c. Wara Wai mendapat wilayah Liae.
d. Laki Wai mendapat wilayah Dimu (Timu).
e. Dida Wai mendapat wilayah Menia.
f. Jaka Wai mendapat wilayah Raijua.
Dari pembagian ini telah menyebakan terbentuknya komunitas genelogis-teritorial, dimana suatu rumpun keluarga terikat pada pemukiman tertentu.
Karena rumpun ini berkembang semakin besar maka dibentuk suatu sub-rumpun yang disebut Udu yang dikelpali oleh seorang Bangu Udu. Di Habba (Seba) terdapat 5 Udu yang nanti akan terbagi lagi menjadi Kerogo-kerogo.
5 Udu di Seba tersebut adalah:
1. Udu Nataga (terdiri dari 9 kerogo).
2. Udu Namata (terdiri dari 4 kerogo).
3. Udu Nahoro (terdiri dari 4 kerogo).
4. Udu Nahpu
5. Udu Naradi (kedua terakhir tidak terbagi dalam kerogo).
Di Sabu dan Raijua seluruhnya terdapat 43 Udu dan 104 kerogo.

V. Agama Suku & Hal-hal Menyangkut Ritual.

Sistim Kepercayaan.
Agama suku Sabu atau Agama Asli Sabu tidak diketahui namanya. Pada umunya orang menyebut agama suku Sabu dengan nama “jingitiu”, yang berasal dari kata “jingiti Au” yang diartikan atau ditafsir oleh para penginjil dan pendeta dahulu dengan nada lecehan yakni “jingi” artinya melanggar atau menolak, “ti” artinya dari dan “Au” artinya engkau (Tuhan). Jadi dapat diartikan secara harafiah bahwa Jingitiu adalah agama yang menolak Tuhan. Padahal nama ini adalah penyebutan yang berikan oleh penginjil Potugis yang datang ke Sabu pada Tahun 1625. Mereka menyebut dengan Gentios (kafir/ tidak mengenal tuhan). Yang menurut pelafalan orang Sabu adalah jingitiu. Hal tersebut dapat dilhat juga dalam penyebutan mereka terhadap agama suku di Belu yang dilafalkan oleh orang Belu dengan Dintiu.
Para Mone Ama (pimpinan agama suku) pada waktu itu menerima penyebutan tersebut karena ketidak mengertian mereka terhadap arti dari istilah/ penyebutan tersebut.
Beberapa hal mengenai sistim kepercayaan Agama Suku Sabu:
1. Orang Sabu Pecaya pada satu Zat Ilahi yang disapa dengan “Deo Ama” (Allah Bapa asal dari segala sesuatu), “Deo Woro Deo Pennji” (Tuhan pencipta semesta) atau “Deo Mone Ae” (Tuhan Maha Kuasa/ Maha Agung).
2. Segala ciptaan terdiri dari 2 unsur yang esensial, mengandung daya yang saling bertentangan, bergantungan, dan saling melengkapi. Contohnya laki-laki dan perempuan. Keduanya adalah setara dengan masing-masing fungsi yang saling melengkapi. Sehingga dalam kehidupan orang Sabu Laki-laki dan perempuan selalu dilihat sebagai suatu kesetaraan atau apa yang kenal sekarang dengan istilah “gender.”
3. Manusia harus selalu menjaga hubungan atau relasi yang baik dengan Tuhan. Jika hubungan itu baik maka disebut dengan “Meringgi” atau dingin yang mendatangkan damai sentosa, mengerru (hijau/ kesuburan) dan merede (kelimpahan). Tetapi sebaliknya dan bila terjadi kesalahan atau pelanggaran terhadap aturan atau tatanan yang ada akan mendatangkan hal-hal yang “Pana” (Panas) atau hal-hal yang berupa petaka, bencana.
4. Untuk menjaga Relasi yang harmonis antara Manusia dan Tuhan maka dalam tatanan kehidupan diatur juga tentang ritual-ritual keagaaman, hubungan kekerabatan dan hukum adat.

Tentang Nada
Nada adalah tempat beribadat bagi penganut agama suku Sabu (Agama Asli). Nada pertama didirikan Kika Ga di Kolo Marabbu (generasi 11, Miha Ngara). Nada perkembang menjadi dua, yang satu tetap di Merabbu, yang satu di Kolo Teriwu.
Pada masa Wai Waka (generasi 18) diadakan pembagian wilayah dan masing-masing wilayah didirikan Nada.
Pada masa Robo Aba (Generasi 24) terjadi perpindahan Nada dari Kolo Teriwu ke Namata. Tidak semua yang dipindahkan termasuk Eku (salah satu alat penting). Eku baru berhasil dibawa ke Namata pada masa Mata Lai (generasi 29). Dengan demikian lengkaplah sudah perlengkapan upacara bagi penduduk di wilayah Habba.
Dalam perkembangan disamping Nada di Namata ( Nada Ae Namata ) di bangun Nada di Rai Dana (Nada Ae Gurikebeu). Nada ini juga diurus oleh Mone Ama dari Namata.
a. Batu-batu (wowadu)di Nada Ae Namata, antara lain :
1. Wowadu Piga Hina ;
2. Wowadu Ngellu ;
3. Wowadu Lirru Bella ;
4. Wowadu Dahi Bella ;
5. Wowadu Lawarai (batu peringatan terhadap Hawu Miha di Teriwu;
6. Wowadu Kika Ga;
7. Wowadu Petti Ma Ratu Kaho, dan beberapa batu lainnya yang semuanya ada berjumlah 14 buah.
b. Batu-batu di Nada Ae Gurikeberu, antara lain:
1. Wowadu Ettu (batu Ulat);
2. Wowadu Lale Dahi (batu kiamat atau air bah);
3. Wowadu Lakati (batu penyakit cacar);
4. Wowadu Kolera (batu penyakit kolera);
5. Wowadu Heraba (batu penyakit serampa atau morbili); dan beberapa batu lain.
Perlu diingat bahwa batu dalam agama suku Sabu bukanlah sembahan tetapi merupakan sarana berupa mesbah untuk meletakkan korban persembahan bagi Deo.

Mone Ama (Majelis Adat & Agama).
Dalam tata kehidupan termasuk didalamnya dalam urusan pemerintahan, keagamaan diatur oleh sebuah sistim kemajelisan yang mempunyai fungsi masing-masing. Majelis ini disebut dengan Majelis Mone Ama. Bagi orang Sabu Agama dan Hukum Adat merupakan dasar bagi kehidupan mereka, naik dalam bidang sosial, ekonomi, kesenian. Sehingga segala aspek kehidupan tersebut harus mencerminkan totalitas yang serasi dengan agama (agama suku).
Di Habba pada mulanya Majelis Mone Ama ini cuma terdiri dari 4 orang (masa Roba Aba, genarasi 24) masing-masing adalah:
• Deo Rai
• Do Heleo.
• Rue.
• Pulodo.
Dari majelis ini, yang memimpin kemajelisan adalah yang memangku jabatan sebagai Deo Rai. Hal tersebut dapat dilihat dalam hal perlengkapan upacara serta urutan-urutan dalam pelaksanaan upacara.
Dalam perkembangannya dengan melihat kebutuhan dan permasalahan dalam masyarakat yang semakin kompleks maka jumlah Mone Ama juga bertambah. Di Habba berkembang menjadi 9 orang, yakni:
• Deo Rai.
Tugasnya sebagai pemimpin, penegak syarat agama dan adat serta menjalankan pemerintahan. Memimpin upacara yang bersangkutan dengan tugasnya antara lain; Puru Hogo, Baga Rae, Jelli Ma, Hanga Dimu, Daba, Banga Liwu, Hole. Selain itu juga ia bertugas dalam masalah tanah, paertanian (Kacang hijau) dan yang terakhir adalah tugasnya sebagai pemimpin upacara untuk memanggil hujan.
• Pulodo.
Tugasnya adalah masalah pertanian (padi), kesuburan tanah, kegiatan-kegiatan musim kemarau termasuk sabung ayam, mendampingi Deo Rai dalam upacara Puru Hogo dan upacara lainnya, berkoordinasi dengan Bengu Udu dalam urusan pemerintahan.
• Doheleo.
Mengawasi agar adat ditegakkan secara tertib dan teratur, melihat setiap peristiwa (bencana) yang terjadi karena pelanggaran adat. Memimpin upacara tyolak bala. Masalah pertanian (jagung Rote/ sorgum) serta urusan kesuburan tanah.
• Rue.
Melakukan upacara menghilangkan akibat dari perbuatan haram (tolak bala). Menyelesaikan bencana alam, hama dan wabah penyakit.
• Latia
Memimpin upacara pentahiran yang bersangkutan dengan korban manusia, tanaman dan rumah yang terbakar.
• Bakka Pahi.
Memimpin upacara pentahiran yang bersangkutan dengan korban manusia, tanaman dan rumah akan tetapi tidak terbakar.
• Maukia.
Menangani segala urusan menyangkut peperangan. Menangani apa yang bersangkutan dnega barang-barang yang bersifat haram dari luar, lewat upacara memuat dalam suatu perahu dan dihanyutkan ke laut.
• Kenuhe.
Pada waktu perang dan ada musuh yang terbunuh maka tuganyalah untuk memangku mayat sementara upacara berlangsung.
• Tutudalu.
Setiap mayat dalam pangkuan Kenuhe dikuliti kulit kepala dan ditanam dalam nada dan hal ini dilakukan oleh Tutudalu.

Kalender Adat dan Upacara menurut Siklus Kehidupan Orang Sabu.
Tidak ada satupun aktivitas hidup orang Sabu selama satu tahun kalender yang dapat terpisah dari kehidupan keagamaan. Pola ini ini didasarkan atas 9 amanat Deo Ama, yakni:
• Puru Hogo
• Baga Rae
• Jelli Ma
• Hanga Dimu
• Daba • Banga Liwu
• Hole
• Hapo
• Made

Hal tersebut merupakan syarat agama sekaligus merupakan adat orang Sabu, terutama bagi mereka masih menganut agama asli.
Dalam penyelenggaraan pemenuhan 9 amanat ini maka pelaksanaannya tidak telepas kaitannya dengan kalender kegiatan tahunan. Adapun kalender Tahunan tersebut adalah:

1. Kelila Wadu (Jul-Agust)
2. Tunu Manu (Agust-Sept)
3. Bagarae (Sept-Okt)
4. Ko’o Ma (Okt-Nov)
5. Naiki Kebui (Nov-Des)
6. Wila Kolo (Des-Jan) 7. Hanga Dimu (Jan-Ferb)
8. Daba Akki (Ferb-Mart)
9. Daba Ae (Mart-April)
10. Banga Liwu (April-Mei)
11. A’a (Mei-Juni)
12. Ari (Juni-Juli)

Pelaksanaan 9 Amanat Deo:
• Puru Hogo; diadakan pada bulan Kelila Wadu, saat akan dimulainya kegiatan iris tuak & dan masak gula yang merupakan salah satu bahan makanan pokok orang Sabu.
• Baga Rae; diadakan pada akhir bulan Baga Rae, dengan tujuan;
Sebagai tanda akhir dari kegiatan iris tuak dan masak gula.
Menyumbat mulut tanah agar jangan menelan korban.
Mengecek tentang curah hujan pada musim penghujan yang akan datang.
Memagari daerah agar terhindar dari musuh dan malapetaka.
Mempererat tali persaudaraan antara warga udu dan kerogo.
• Jelli Ma; diadakan pada bulan Ko’o Ma sebagai upacara membersihkan kebun.
• Hanga Dimu; diadakan pada bulan Hanga Dimu, yakni Deo Rai dan Pululodo memulai panen Kacang Hijau dilanjutkan dengan acara Nga’a Hanga Dimu. Setelah itu baru warga boleh memulai panen kacang hijau.
• Daba; dalam daur hidup dikenal tahap; lahir (metana), pemberian nama (pe wie ngara), hapo (pengakuan tentang sahnya anak), daba (baptis), leko wue (belajar memakai pakaian), bagga (sunat) , potong gigi dan perkawinan (peloko nga’a) serta kematian (made).
Daba merupakan rangkaian acara yang dilaksanakan pada hari ketiga setelah panen sorgum dan pesta pado’a. Daba diadakan pada bulan Daba Akki.
• Banga Liwu; diadakan pada bulan Banga Liwu (malam ke 9 dari bulan baru). Dalam rangkai upacara tersebut bertujuan untuk:
Mendinginkan obyek-obyek seperti kebun kapas, kebun kelapa, pinang dan kandang ternak.
Penghormatan terhadap arwah leluhur dengan membawa sirih pinang ke pekuburan leluhur dan malamnya diadakan “Pe-do’a bui ihi”.
• Hole; dilakukan pada hari ke 7 setelah purnama pada bulan Banga Liwu. Salah satu tujuannya adalah melepaskan celaka ke laut serta menutup mulut laut agar hasil yang dari darat jangan terhisap atau tertelan ke dalam laut. Atau dapat dikatakan dengan istilah buang sial.
• Hapo; merupakan acara pengakuan terhadap anak yang dilahirkan.
• Made; upacara yang bersangkutan dengan kematian.

VI. Penutup.
Dan dari hal-hal yang tersebut diatas maka saya ingin menyampaikan tentang beberapa hal untuk bagian akhir dari tulisan ini bahwa saya sangat tidak sependapat dengan penyebutan jingitiu bagi Agama Suku Sabu. Penyebutan tersebut merupakan penyalahan arti dan merupakan penghinaan bagi orang Sabu serta menujukkan ketidak tahuan atau kurang mengertinya orang tentang tatanan kehidupan, adat istiadat dan Sistem kepercayaan orang Sabu. Saya lebih setuju dengan pendapat dari:
1. Pdt. Victor I. Tanya, PhD, yakni: Melihat pada kenyataan bahwa sebagian besar penduduk di Tanah Air kita yang belum menganut salah satu agama tidak dapat begitu saja digolongkan sebagai orang yang tidak ber-Tuhan atau kafir. Dalam kepercayaan yang beragam di muka bumi persada kita, kesemua pemeluknya mempunyai kesadaran, kepercayaan dan praktek-praktek beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Perlu diingat bahwa apa yang disebut dengan Politeisme (menyembah Allah yang Banyak) sebenarnya tidak ada tetapi cuma karena ada kesalah pahaman tentang Zat Ilahi yang satu yang menampakkan wujudnya dalam berbagai bentuk. Agama-agama sukupun tidak politeisme namun monoteisme. Sehingga sungguh adil bila kepercayaan-kepercayaan tersebut diberikan kedudukan hukum, sosial dan politik yang sama dengan agama lain.

2. Pdt. DR. Eka Darma Putra, dalam artikelnya berjudul “Inter-Relationship Among Religious Group In Indonesia”. Dalam karangan tersebut mengangkat beberapa renungan bagi kita: Apakah kita adalah saksi dari Kristus ataukah saksi dari Agama Kristen? (Kisah 1:18). Kalau kita saksi dari Kristus, maka hendaknya kita renungkan bahwa Allah yang diperkenalkan oleh Yesus adalah bukan Allah dari suatu agama tertentu, Allah yang hanya disembah secara ekslusif melalui ritus tertentu pada tempat tertentu? Bukankah Yesus telah merelatifkan klaim yang bersifat absolut dan ekslusif dari satu agama tertentu? (Yoh 4:21-23 & Mat 7: 21- 23) Apakah yang paling penting bagi Yesus, ajaran dan kata-kata yang indah ataukah perbuatan yang sesuai dengan kehendak Allah. Atau yang lebih tegas yang diambil dari bacaan Kisah 24:14 yakni bahwa: Apakah yang dimaksudkan dengan agama Kristen dan para pengikutnya yang percaya kepada Yesus yang adalah Jalan kepada Tuhan, ataukah yang dimaksudkan Yesus pada bacaan itu adalah bukan agama yang benar, melainkan Jalan yang benar yang dimaksudkan oleh Yesus yaitu Dirinya sendiri?

Dengan demikian seiring dengan hal tersebut maka kita selalu diingatkan agar kita jangan mudah untuk mencela agama atau kepercayaan lain termasuk agama suku. Tapi marilah kita selalu mengemban tugas yang telah dimandatkan kepada kita sebagai saksi Kristus.


DAFTAR BACAAN

1. Pdt. Victor Imanuel Tanya PhD; Hidup Itu Indah, BPK, Jakarta, 1989.
2. Soemarjono Danoewidjojo: Beberapa Segi Struktur Kemasyarakatan Sawu, Majalah Hukum Adat Tahun ke-2, no. 1 dan 2, MIPI, Yogyakarta.
3. Daniel J. Adams: Teologi Lintas Budaya, BPK Jakarta 1992.
4. DR. Nico L. Kana: Dunia Orang Sabu; disertasi, Jakarta 1978.
5. Robert Riwu Kaho: “Orang Sabu dan Budayanya” (Suatu Gagasan ke Arah Perubahan, Pebaharuan dan Kesadaran Membangun Manusia dan Budaya dalam Memasuki Milenium ke-3, Panitia Sidang Majelis Sinode GMIT XXV di Sabu, Sabu, 2000.

Thursday, February 05, 2009

Jika....

Sore ini pikiran lagi sumpek sekali .. bahasa kerennya "Bete Buanget...". Tidak tahu kenapa .. hampir tidak ada yang ingin dikerjakan .. pinginnya diam saja..
Tiba -tiba kepikiran deh untuk menulis di blog ini...
Satu hal yang terpikir oleh ku .. bagaimana jika Sabu itu letaknya di depan Kota Kupang ( The Capital city of East Nusa Tenggara ) alias bersebarangan dengan Rote.. pastilah kondisinya akan sangat jauh berbeda dengan kondisinya saat ini.
Why I could state like these ? Pasti ada alasannya.
Jika kita meng-komparasi perkembangan Rote dan Sabu , Sabu jauh sangat-sangat tertinggal , padahal jika dilihat dari jumlah penduduk , produktifitas penduduk ataupun sumber dayanya .. tidak jauh berbeda. Tetapi jika dilihat dari arus masuk keluar uang , barang dan jasa.. maka dapat dipastikan Pulau Rote lebih banyak dibandingkan Sabu .. Kenapa ? karena lebih mudah dijangkau karena jarak tempuhnya lebih dekat serta lebih banyak alat transportasi yang lalulalang dari dan ke sana. Bagaimana dengan Sabu ? Wah... tidak usah di tanya lagi... walapun sudah memiliki pelabuhan laut dan udara , tapi akses ke sana cukup menguras kantong ,stamina dan nyali. Menguras kantong karena harga tiket ke Sabu sangat mahal jika dibanding dengan beberapa pulau kecil di wilayah lain Indonesia. Menguras stamina , karena waktu tempuh yang cukup jauh dari dan kesana ( letaknya di ujung selatan dan pertengahan Laut Sawu ) sehingga akses dari mana saja tetap sama jarak tempuhnya , mau dari Kupang, Ende maupun Waingapu ( apalagi dari Jakarta he..he..). Yang terakhir ... mengenai Nyali. Diwaktu - waktu tertentu.. jika anda ingin menguji nyali.. silahkan naik kapal laut/ fery ke Pulau Sabu.. kalau anda berhasil dan mau mengulangnya hingga kali yang ke-3 , berarti Anda telah menaklukan ganasnya laut Sawu yang terkenal dengan tinggi gelombang laut di kisaran 5 s/d 7 Meter. Sudah banyak korban yang ditelan oleh Hamparan laut Sawu yang kaya namun "Lapar" akan Korban. Melihat hal itu , kelihatannya pemerintah harus berusaha memperjuangkan pengadaan fasilitas transportasi yang MEMADAI & MURAH bagi masyarakat Sabu. Jika itu bisa terealisasi , mudah-mudahan disuatu saat kelak Sabu & sekitarnta bisa menyamai Pertumbuhan Ekonomi di Rote bahkan daerah - daerah lain di NTT.
Satu hal yang selama ini melekat di pikiran saya , bahwa sebenarnya Sabu menyimpan potensi pariwisata yang cukup menarik baik dari sisi adat istiadat , tradisi , kerajinan maupun potensi alam. Beberapa hari yang lalu saya pernah mencoba melihat - lihat di Goggle Map , banyak sekali pulau - pulau kecil di negara lain yang notabene lokasinya lebih "Terpencil" , bahkan hampir mustahil untuk dijadikan dareah tujuan wisata karena letaknya yang sangat jauh. Setelah saya cari tahu informasi nya lebih dalam , ternyata arus keluar masuk turis ke sana luar biasa.. apa yg dicari disana ternyata mengalahkan tantangan jarak maupun biaya.. bisa dibilang "They will do anything to be there.. Very fantastis. So .. Apa ini bisa dijadikan suatu bahan pembelajaran kecil buat kita , khususnya Pemerintah dan masyarakat Sabu ? Marilah kita segenap warga Sabu.. mari kita promosikan daerah kita ini , sehingga bisa menjadi salah satu tujuan wisata yang menarik (walaupun ini masih di angan - angan saya ). Dan jangan lupa juga , budaya & tradisinya tetap dipertahankan , jangan cepat terpengaruh dengan modernisasi negatif , khususnya buat generasi muda Sabu. Akan sangat mengecewakan jika nanti ada yang memang mempunyai tujuan berwisata ke sana , tetapi tidak ada yang bisa dilihat dan dinikmati.
Terlebih kepada Pemerintah Daerah yang baru terbentuk Di sabu & sekitarnya , cobalah lebih berinovasi untuk memajukan Sabu yang kita cintai bersama hingga bukan hanya kita - kita saja yang merasa bangga , tetapi anak - anak dan cucu kita akan terus mengenal Sabu sebagai Pulau & Suku yang kaya akan khasanah budaya dan adat - istiadat.

Tuesday, January 27, 2009

Internet Goes To Sabu

Mengawali Tahun 2009 ini .. saya ucapkan selamat tahun baru kepada semua orang terlebih khusus kepada seluruh Orang Sabu yang ada di Pulau Sabu dan sekitarnya serta yang ada di perantauan .
Apa peristiwa mutahir yang sedang terjadi di Sabu ... aku sendiri ngga tahu...
Ada satu pertanyaan yang selama ini memenuhi ruang - ruang di kepala ku ..
Pertanyaannya begini : " Kira - kira , di Sabu sudah ada koneksi internet ngga' ya ? Kira - kira apa yang ditulis oleh orang - orang Sabu di media internet ini , dibaca langsung oleh adik , kakak , anak atau saudara bahkan orang yang tidak kita kenal sekalipun , yang saat ini menghuni Pulau yang kita cintai ini.


Kalau jawabannya : SUDAH , thank's God .... , tetapi kalau belum .. wah .. ngga kebayang deh.. bagaimana bisa objek yang dicintai , diobservasi , dipublikasikan oleh banyak orang tetapi tidak bisa menikmati informasi itu sendiri .. Kasihan ya..
Masuknya internet ke Pulau Sabu .. selain sebagai sarana masuk keluarnya informasi dari dan ke Sabu , juga akan sangat bermanfaat sebagai sarana belajar untuk siswa - siswi , sebagai sarana untuk menggali informasi bagi aparat pemerintah khususnya dalam rangka penigkatan Sumber Daya Manusia khususnya di awal pembentukan Kabupaten baru , sarana menjual potensi sumber daya untuk dijual ke dunia luar.Dan masih banyak lagi manfaat yang mungkin kita semua sudah tahu.
Semoga di 2009 ini , dengan terbentuknya pemerintahan Kabupaten yang baru.. Sabu bisa lebih maju lagi .. khususnya bisa merasakan akses internet ( walaupun cuma di beberapa titik dulu lah.. yang penting ada ).Mungkin saja .. dalam beberapa bulan ke depan kita - kita yang ada di perantauan bisa ber-Online Ria dengan saudara - saudara kita yang ada di Sabu.
Dan untuk pemerintah atau orang yang punya akses ke pemerintah , tolonglah dibantu masyarakat di Pulau Sabu agar bisa mendapatkan akses internet .. kalau belum bisa gratis.. yang murah juga boleh lah...

Sunday, January 11, 2009

.: Lokasi penyebaran Orang Sabu perantau di NTT

Sebenarnya tulisan ku ini bukanlah hasil survey atau observasi , tetapi berdasarkan cerita dari mulut ke mulut , entah itu dari orang tua , sanak saudara atau dari sahabat - sahabat aku.
Berdasarkan penuturan - penuturan yang aku tangkap dan rangkum , maka 5 (lima)daerah penyebaran terbesar masyarakat perantau asal Sabu di NTT adalah :
1. Kota Kupang dan sekitarnya
2. Ende - Flores
3. Maumere - Flores
4. Waingapu - Sumba
5. Reo - Flores



Diperkirakan hampir sebagian dari total masyarakat Suku Sabu merupakan masyarakat Sabu perantau yang tersebar di daerah - daerah tersebut di atas.
Bayangkan jika semuanya bersatu , terus pulang kembali ke Sabu ? Apa jadinya ya ?
(Ini hanya angan - angan aku aja.. ha..ha...).
Sekarang yang menjadi tanda tanya besar buat aku , kenapa penyebarannya hanya ke daerah itu saja , bukan kah masih banyak daerah lain di NTT yang bisa dijadikan tujuan merantau [migrasi] ? Mungkin karena daerah daerah itu merupakan daerah - daerah pelabuhan dan perdagangan yang langsung berhadapan dengan Laut Sawu dan Pulau Sabu atau juga karena ada faktor lain. Who Knows....... Marilah kita cari jawabannya bersama .. barangkali ada yang lebih memahami fenomena ini ...

Friday, January 09, 2009

.: Henge-dh'o
[ Ciuman ala Orang Sabu ]

Jika ada yang bertanya "Pernahkah anda dicium atau mencium seseorang yang tidak memiliki hubungan yang dekat dengan anda seperti hubungan suami-istri atau kakak - adik atau orang tua dan anak ? " Mungkin hanya sebagian kecil saja menjawab " Pernah !". Dan diantara yang sebagian kecil itu , pastilah orang Sabu. Kok bisa begitu kesimpulannya ? Jawabannya karena Suku Sabu memiliki suatu tradisi unik sekaligus rada aneh ( jika dinilai oleh orang lain ) , yaitu : tradisi berciuman dengan saling menyentuhkan hidung sebagai ungkapan rasa rindu , sayang , hormat , empati kepada orang yang dianggap berhak mendapatkan itu.
Cium / berciuman atau dalam bahasa Sabunya disebut Henge-dh'o , bisa anda temui pada saat - saat tertentu dimana sang pemberi dan penerima ciuman berusaha mengktualisasikan ekspresi dari hatinya. Misalnya karena karena perasaan rindu karena sudah lama tidak bertemu atau ada tamu terhormat yang sedang berkunjung atau pada saat merayakan hari raya Natal atau pada saat menyampaikan ungkapan turut bersedih / belasungkawa atau memberikan ucapan selamat karena suatu kejadian yang mendatangkan kebahagiaan dan suka cita atau saat mengakhiri pertentangan /perselisihan , dsb.
Henge-dho' dilakukan dengan tidak mengenal umur , gender , profesi bahkan status sosial.Henge-dho' adalah nilai luhur yang diwariskan oleh nenek moyang Orang Sabu yang mengandung makna yaitu betapa kita sebagai sesama manusia harus bisa saling memberi dan menerima tanpa rasa pamrih dan juga bisa mengaktualisasikan kasih sayang terhadap sesama tanpa pandang bulu.

.: Sirih Pinang Cemilan Unik Orang Sabu


Bagi kebanyaan suku di Indonesia , sirih dan pinang mungkin tidaklah asing karena sering digunakan sebagai " cemilan " , misalnya orang Papua,Jawa,Bali dsb.
Tetapi kalau anda bertemu dengan orang Sabu , khususnya orang - orang tua , maka hal pertama yang mungkin saja bisa anda lihat adalah kebiasaan mereka mengunyah sirih dan pinang. Ayah saya juga adalah seorang "Pecandu berat " Sirih pinang tersebut , bahkan setelah beliau menderita sakit stroke dan di saat-saat terakhir menjelang kematiannya , beliau masih saja berkutat dengan kebiasaan tersebut.
Apa sih yang membuat orang Sabu begitu akrab dengan panganan satu ini ? Sampai sekarangpun saya masih belum bisa mendapatkan jawabannya. Kalau cuma mereka-reka , mungkin jawabannya karena sudah dari sana-nya kali ( tradisi turun temurun ). Padahal , saya sempat menanyakan ke ayah saya, apakah di Pulau sabu pohon pinang dan sirih tumbuh sumbur dan bertebaran di mana-mana ? beliau mengatakan tidak. Mengherankan juga ... , sesuatu yang susah diperoleh tetapi bisa dikonsumsi setiap saat bahkan melebihi frekuensi rutinitas makan 3 kali sehari. Yang anehnya lagi , bagi sebagian "penikmat" sirih pinang , belum lengkap rasanya kalau makan sirih pinang tetapi tidak ditutup dengan sajian penutup , yaitu : mengunyah dan menghisap tembakau ( bukan dibakar seperti rokok ).

Kayaknya sudah seperti makan makanan 4 sehat lima sempurna deh...
Sepintas , bagi saya kebiasaan ngemil sirih pinang itu tidak ada manfaatnya , tetapi menurut ayah saya , kebiasaan itu bisa membangkikan gairah kerja , bisa memperkuat gigi dan menambah daya tahan tubuh dan sebagai sarana mempererat pertemanan , dsb. Pernyataan itu selintas menjadi pertanyaan bagi saya sampai sejauh ini. Bisa saja itu adalah suatu pernyataan yang didasari atas pengalaman hidup beliau.
Saya pernah mencoba beberapa kali mencicipi sirih pinang. Rasanya ... wah... luar bisa tidak enaknya saat pertama kali masuk ke dalam mulut.. tapi lama kelamaan setelah dikunyah berlama-lama .... enak juga .. walaupun agak sepat di lidah. Dan makanan penutupnya yakni tembakau .. puih... pedes plus pahit saat dikunyah dan dhisap airnya ... pingin cepat-cepat dikeluarin dari mulut.
Ada satu hal membuat saya kagum terkait dengan sirih pinang ini , yaitu : saking lengketnya orang sabu dan sirih pinang , sampai - sampai dimasukan ke dalam salah satu unsur dari barang bawaan pada saat prosesi "Masuk Minta " ( meminang gadis ).
Itulah sebagian ciri khas orang sabu yang unik namun kental dengan warisan budaya dan tradisi.

.: Kumpul keluarga.. Nilai kebersamaan yang patut dipertahankan


Hari ini , saat aku membuka blog ku , rada bingung juga mau nulis apa tentang Sabu . Tapi seketika terbersit di memori ku tentang budaya kebersamaan yang cukup kuat di kalangan Masyarakat Sabu takala menghadapi sebuah hajatan atau acara yang nota bene membutuhkan resources baik itu dari sisi pendanaan maupun tenaga dan pikiran. Ikatan kekerabatan yang kental membuat semua hal yang berkaitan dengan persiapan dan perencanaan bisa diselesaikan bersama hanya dalam tempo yang singkat dan tanpa prosedur yang berbelit - belit . Salah satu bentuk ikatan kekerabatan itu diwujudkan dalam bentuk pertemuan yang biasa disebut sebagai " Kumpul Keluarga ".

Menurut apa yang pernah saya alami sendiri yakni ketika ada suatu perhelatan / acara yang akan digelar oleh salah satu keluarga , maka sebelunya pihak keluarga harus mengundang semua keluarganya baik yang dekat menurut silsilah ataupun yang sudah agak jauh untuk membicarakan persiapan perhelatan tersebut. Umumnya hal ini dilakukan dengan tidak memandang strata sosial keluarga "Tuan Rumah" , apakah miskin / kaya , lebih tua / muda , sabu asli atau sudah campuran , dan sebagainya. Yang terpenting di sini semua bisa merasakan apa yang sedang dihadapi oleh keluarga dan pada akhirnya semua bisa memberikan kontribusi nyata kepada Tuan Rumah baik itu dari sisi Dana ( aksi pengumpulan uang ) atau juga pembagian tugas / kerja terkait kelancaran perhelatan.
Dan disaat hari - H nanti , tanpa menunggu komando / perintah semua tugas yang telah diserahkan kepada masing-masing pihak akan dilakukan dengan penuh tanggung jawab , karena mereka tidak ingin mempermalukan "Tuan Rumah " di depan tamu-tamu yang diundang.
Itula sekilas tentang budaya " Kumpul Keluarga " yang masih terjaga sampai sekarang. Semoga budaya ini ini tetap terjaga untuk mempererat kebersamaan dan kekeluargaan.

Tuesday, December 30, 2008

.:Bahasa Sabu sebagai salah satu identitas Orang Sabu


Kemaren aku nelpon ibuku buat nanyain beberapa kata dalam bahasa Sabu yang akan kumsaukan ke blog-ku. Di awal pembicaraan kami , sebelum aku bertanya , beliau langsung menimpali ku dengan satu sentilan yang menurutku cukup membuat ku malu... Begini katanya " Ama..Ama... baru 10 Tahun tinggal di manado, sudah lupa bahasa Sabu ..". Aku langsung mencoba mengelak dengan menjawab " Iya Ma.. soalnya di sini sudah tidak pernah berbahasa Sabu lagi..". Tapi setelah aku mengakhiri pembicaraan ku dengan beliau , aku langsung sadar bahwa sesuatu .. entah itu budaya , kebiasaan apalagi bahasa , apabila jarang atau tidak pernah lagi diulang atau dilakonkan.. sedikit demi sedikit akan terkikis bahkan hilang dari memory. Nah.. berangkat dari situ aku berjanji dalam hati , andai aku bisa mengajarkan Bahasa Sabu ke istri dan anak - anak ku yang nota bene bukan orang asli Sabu dan mereka bisa menggunakannya .. entah itu cuma beberapa kata dasar.. wah betapa bahagianya aku.
Menilik dari cerita ku di atas.. saya mengajak.. semua warga Sabu di perantauan , khususnya yang jauh dari sabu dan sekitarnya .. marilah kita mengajarkan beberapa kata saja dalam bahasa Sabu kepada Suami / istri / anak-anak kita, supaya selain mereka senantiasa merasa bahwa mereka juga bagian dari kultur sabu yang luhur itu , juga agar di kemudian hari kelak mereka senantiasa mengingat di mana tanah nenek moyang mana mereka. Jika bahasa Inggris saja kitab bisa menjadi fasih menggunakannya .. mudah-mudahan dengan bahasa Sabu ... karena bagaimanapun Bahasa Sabu adalah salah satu identitas yang bisa menunjukkan bahwa kita adalah Orang Sabu

Kebudayaan Sabu Bisa Hilang

Kelompok kesenian tradisional Hawu Miha dari Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur, tampil di Teater Utan Kayu, Jakarta, pada Selasa (3/8). Mereka menampilkan seni tari, nyanyian, pameran tenun ikat, dan penjelasan tentang kebudayaan suku Sabu. Pentas di Jakarta itu bagian dari persiapan mereka untuk pameran di Museum London mulai 8 Agustus mendatang. Tokoh yang berperan di belakang keberhasilan kelompok Hawu Miha yang dipimpin seniman tradisional Elo Lado untuk menembus Jakarta dan London itu adalah Genevieve Duggan MA, seorang antropolog kebudayaan yang tinggal di Singapura. Duggan mengantongi gelar master of art dalam bidang antropologi di Universitas Heidelberg, Jerman. Sejak 1994, Duggan melakukan riset antropologi kebudayaan suku Sabu. Riset itu hingga kini belum tuntas, namun Duggan telah berhasil menerbitkan buku berjudul Ikats of Savu; Women Weaving History ini Eastern Indonesia terbitan White Lotus, Bangkok, 2001. Setelah pertunjukan di Teater Utan Kayu, Jakarta, wartawan Koran Tempo mewawancarainya melalui surat elektronik pada Jumat (6/8). Berikut kutipannya. Berapa lama riset Anda dan apa tujuannya?
Saya melakukan riset selama 10 tahun sejak 1994. Pertama kali saya tinggal di Pulau Sabu selama dua minggu. Tujuannya dulu untuk mengidentifikasi motif kain tenun Sabu, kemudian menganalisis organisasi sosial masyarakat Sabu, mencari hubungan antara motif dengan organisasi sosial, kebudayaan, dan sejarah Sabu. Saya juga meriset bagaimana masyarakat Sabu berpikir dan menstruktur ruang dan waktu.Apakah riset Anda untuk kepentingan pribadi atau dalam rangkaian untuk studi?
Awalnya untuk kepentingan pribadi, kemudian menjadi studi antropologi.Metode apa yang Anda pakai?
Riset lapangan, wawancara formal dan informal, pakai alat perekam kalau boleh, atau menulis catatan.Apakah riset Anda tuntas?
Belum selesai, mungkin tidak pernah selesai, karena kompleks sekali.Bisa Anda ceritakan diri Anda lebih jauh?
Saya datang ke Jakarta dengan suami saya pada 1988. Saya ikut kelompok Ganesha Society dan belajar sebanyak mungkin buku-buku tentang kebudayaan etnis Indonesia. Setelah itu saya banyak bergaul dengan orang-orang asing di Jakarta. Pada 1990, saya ikut perjalanan keliling ke pulau-pulau Nusa Tenggara Barat dan Timur. Saya menemani turis dan sering berceramah tentang kebudayaan di pulau-pulau tersebut. Saya pertama kali datang ke Sabu pada 1990 dengan kapal lumba-lumba Spice Island Cruises.Mengapa Anda memilih Sabu sebagai subyek riset?
Karena saya tidak dapat cukup informasi tentang Sabu untuk turis, saya mulai bertanya langsung ke masyarakat Sabu dan tinggal di sana pertama kali pada 1994. Sesudah 1994, saya kembali dua kali setiap tahun ke Sabu, dan tinggal beberapa minggu setiap kali kunjungan. Untuk membalas jasa atas bantuan mereka untuk riset saya, saya kemudian membantu di sana juga dengan menyediakan obat-obatan, buku sekolah atau buku rekreasi, dan komputer untuk SMA. Waktu krisis mulai melanda Indonesia, saya mencari donatur ke Jakarta untuk mengirim bantuan ke Sabu setiap tahun.Apa kekhasan Sabu menyangkut ekspresi seni?
Kesenian bukan tujuan utama dari tenun ikat. Setiap kain mempunyai pesan. Ini tujuan utamanya. Oke, kain-kain mereka kelihatan indah, tetapi tidak bebas dalam bermain warna. Kain tenun ikat hanya mengenal tiga warna: biru-hitam, merah, dan putih. Ini warna utama orang Austronesia. Mereka tidak bebas dengan struktur atau komposisi kain, karena kain dipakai seperti kartu tanda penduduk atau paspor, untuk identifikasi semua kelompok wanita dari beberapa keturunan nenek moyang mereka. Apakah masyarakat Sabu memiliki apresiasi yang tinggi terhadap seni?
Mereka tidak memiliki apa yang Anda sebut apresiasi yang tinggi itu dibandingkan dengan kebudayaan suku lain. Mereka cukup terisolasi karena masih banyak daerah di Sabu yang tak mempunyai listrik, artinya tidak punya TV, dan pengaruh dari media serta dari luar negeri mungkin kurang. Karena itu, mereka menyimpan dan menjaga tradisi lebih lama daripada orang-orang dari kebudayaan lain.Apakah mereka mempunyai bakat seni lebih besar dari suku lain di Indonesia? Bagaimana misalnya bila dibandingkan dengan suku Asmat di Irian?
Tidak bisa dibandingkan, karena Asmat berekspresi lewat ukiran, sedang Sabu lewat tenun ikat.Mengapa Anda memilih kelompok seni tradisional yang dipimpin Elo Lado untuk mewakili penari Sabu?
Elo Lado adalah asisten saya di lapangan selama 10 tahun. Dia dekat dengan masyarakat Sabu yang masih menganut agama yang masih tradisional. Dia mengerti cara berpikir masyarakat Sabu dan menjaga warisan tradisi. Dia juga seniman. Dia mengerti cara mengikuti upacara ritual. Kesenian Sabu bagian dari agama dan budaya mereka. Apa nama agama mereka?
Namanya Jingi Tiu. Mereka bersembahyang kepada arwah nenek moyang mereka, agar mereka membantu. Menurut kepercayaan mereka, para arwah nenek moyang masih berpengaruh dalam kehidupan mereka. Mereka tidak berani berbicara dengan Tuhan. Agama begitu disebut animisme, tetapi istilah itu tidak tepat benar. Ini perlu dijelaskan lebih panjang lebar dan membutuhkan waktu. Dilemanya pada generasi sekarang, tidak ada lagi agama Jingi Tiu, karena banyak orang memilih agama yang lebih modern (Kristen, Katolik, Islam). Kebudayaan Sabu bisa hilang kalau agama tradisional hilang. Orang Sabu harus sadar bahwa mereka harus menjaga tradisi supaya tidak hilang. Ini tujuan Elo Lado.
Copied from : http://www.korantempo.com/news/2004/8/9/Budaya/39.html