Wednesday, March 18, 2009

AGAMA SUKU SABU (Fokus pada Wilayah Habba)

DIKUTIP DARI : Face Book , Group Mira Ke'di Hari
Ditulis oleh : Valentin Riwu Kaho wroteon March 2, 2009 at 1:43pm

I. Pendahuluan (Latar Belakang).
Sabu secara geografis merupakan salah satu pulau di wilayah Propinsi Nusa tenggara Timur (121045 dan 12204, Belahan Barat; 10027 dan 10038, Lingkaran Selatan) Yang terletak secara terndiri di tengah Laut Sawu. Menyebut Sabu maka tidak telepas dengan sebuah pulau kecil didekatnya yankni pulau Raijua. Jadi keduanya adalah satu kesatuan baik mengenai adat maupun keturunan walaupun berbeda pulau.
Dalam Kehidupan Orang Sabu khususnya dalam kehidupan religi tidak terlepas kaitannya dengan aspek kehidupan lain yakni bidang, ekonomi sosial dan budaya atau adat istiadat. Hal ini bermula dari pandangan bahwa semuanya harus didasarkan pada keselarasan dengan agama suku, atau atas pandangan bahwa segala sesuatu adalah merupakan pemberian Tuhan Yang Maha Kuasa (Deo Mone Ae) sehingga segalanya harus dilakukan dalam suasan yang religi dalam kehidupan. Dalam segala segi kehidupan, setiap kegiatan-kegiatan selalu diawali dengan ritual-ritual dengan maksud memohon bimbingan, petunjuk, berkat serta penjagaan dari Deo.
Dalam Tulisan ini saya coba menulis mengenai Agama Suku Sabu yang lebih menekankan pada Penyelenggaraan serta pemahaman yang ada di wilayah Seba (Habba). Hal ini disebabkan karena pada beberapa daerah lain dI Sabu yang memiliki corak-corak yang agak berlainnan, walaupun tidak signifikan namun dimaksud agar tidak terjadi salah pengertian dari pihak lain. Di samping itu juga kebetulan saya adalah salah seorang dari keturunan Sabu yang leluhur berasal dari wilayah Habba (Namata), yang mungkin sedikit lebih mengenal tentang peristiwa, penyelenggaraan Agama Suku Sabu di Habba. Tulisan ini didasarkan atas pengalaman, beberapa buku refrensi dan ceritra orang tua (leluhur).

II. Tentang Daerah Asal Orang Sabu (Sejarah).
Tentang asal usul orang Sabu dan negeri asalnya, terdapat beberapa versi menurut ceritera beberapa orang Mone Ama dan mereka mengetahui tentang sejarah Sabu. Meskipun demikian, dari tuturan mereka itu terdapat satu kesimpulan yang sama bahwa nenek-moyang orang Sabu berasal dari suatu negeri yang sangat jauh, letaknya di ufuk Barat pulau Sabu.
Sejarah dunia memberitahukan bahwa antara abad ke-3 sampai abad ke-4 ada arus perpindahan penduduk yang cukup banyak dari India Selatan, ke kepualauan Nusantara. Perpindahan penduduk itu disebabkan karena pada kurun waktu terjadi peperangan yang berkepanjangan di India Selatan, Raja Chandragupta II yang memerintah di India Utara dari tahun 375-413 telah menyerang dan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil, teramasuk kerajaan Gujarat di India Selatan. Keamanan yang buruk telak mendorong orang untuk mencari daerah pemukiman baru yang lebih aman.
Jauh hari sebelumnya, telah tersebar berita bahwa di kepulauan Nusantara, di mana pengaruh India sudah semakin besar, adalah negeri yang aman, tenteram dan makmur. Maka terbitlah dorongan kuat diantara penduduk untuk meninggalkan negeri asalnya menuju negeri baru yaitu kepulauan Nusantara.
Dari syair-syair kuno dalam bahasa Sabu dapat diperoleh informasi sejarah mengenai negeri asal dari leluhur Sabu. Syair-syair itu mengungkapkan bahwa negeri asal orang Sabu terletak sangat jauh di seberang laut di sebelah Barat yang bernama Hura. Dalam peta India memang terdapat Kota Surat di Wilayah Gujarat, India Selatan. Kota Surat terletak di sebelah Kota Bombay, teluk Cambay, India Selatan. Daerah Gujarat pada waktu itu sudah di kenal di mana-mana sebagai pusat perdagangan di India Selatan. Kota dangang yang terkenal adalah Koromandel.
Orang Sabu tidak dapat melafalkan kata Surat dan Gujarat itu sebagaimana mestinya. Lidah mereka menyebutnya Hura.
Sebelum perpindahan penduduk itu, antara abad ke 2-3 sudah terjalin hubungan perdagangan antara kepulauan Nusantara dengan pedagang-pedagang dari India Selatan. Pengaruh India Selatan besar sekali terhadap kepualauan Nusantara. Pada abad ke-2 sampai abad-16 telah berdiri kerajaan-kerajaan Hindu-Budha, mula-mula di Jawa, kemudian di Sumatera dan Kalimantan. Dari antara kerajaan-kerajaan itu yang paling terkenal dan paling besar pengaruhnya di kepulauan Nusantara adalah kerajaan Majapahit. Sisa-sisa pengaruhnya masih dapat ditemui di kalangan masyarakat Sabu.
Para pendatang dari Gujarat ini ketika tiba di pula Raijua dapat hidup bersama dengan para imigran yang berasal perpindahan penduduk gelombang kedua yang berasimilasi dengan imigran gelombang pertama, meskipun pengaruh mereka tampak dominan.
Menurut ahli sejarah sebelum India Selatan, Nusantara sudah dihuni oleh Austronesia kira-kira 2000 SM. Kemudian disusul ras Mongoloid, lewat Muangthai, Malasyia Barat dan menyebar di Nusantara, kira-kira 500 SM.
Rombongan India Selatan menjadi penghuni pertama pulau Raijua di bawah pimpinan Kika Ga. Setelah kawin mawin mereka kemudian menyebar di pulau Sabu dan Raijua menjadi cikal bakal orang Sabu.

III. Pengaruh Majapait (Hindu-Jawa).
Pada abad ke 14 sampai awal abad ke 16, Majapahit berhasil menguasai dan menyatukan Nusantara. Majapahit adalah sebuah kerajaan Hindu-Jawa. Meskipun demikian setiap kerajaan di bawah kekuasaanya memiliki otonomi seluas-luasnya untuk mengurus rumah-tangganya dengan satu persyaratan yakni tetap mengakui kedaulatan Majapahit lewat pemberian upeti. Bukti pengaruh Majapahit terhadap Sabu dapat dilihat dalam:
a. Mitos (ceritra rakyat) yang meberikan penghormatan terhap raja Majapahit. Sehingga muncul ceritra bahwa Raja mjapahit dan istrinya pernah tinggal di Ketita di pulau Raijua dan pulau Sabu.
b. Ada kewajiban bagi setiap rumah tangga untuk memelihara babi yang setiap saat akan dikumpul untuk dipersembahkan kepada Raja Majapahit.
c. Ada batu peringatan untuk Raja Majapahit yang disebut wowadu Maja dan sebuah sumur Maja di wilayah Daihuli dekat Ketita.
d. Setiap 6 tahun sekali ada upacar yang diadakan oleh salah satu Udu di Raijua, Udu Nadega yang diberi julukan Ngelai yang menurut ceritra adalah keturunan orang-orang Majapahit.
e. Motif pada tenunan selimut orang Sabu yang bergambar Pura.
f. Di Mesara ada desa yang bernama Tanah Jawa yang penduduknya mempunyai profil seperti orang Jawa. Sedangkan di Mesara juga ada tempat dekat pelabuhan Mesara yang disebut dengan Mulie yang diambil dari bahasa Jawa yakni Mulih yang berarti pulang.


IV. Pembagian Wilayah dan Penyebaran Penduduk di Sabu.
Pembagian wilayah ini terjadi pada masa Wai Waka (generasi*) ke 18). Pembagian ini dibuat berdasarkan jumlah anak-anaknya yang dibagikan. Pembagian tersebut adalah:
a. Dara Wai mendapat wilayah Habba (Seba)
b. Kole Wai mendapat wilayah Mehara (Mesara)
c. Wara Wai mendapat wilayah Liae.
d. Laki Wai mendapat wilayah Dimu (Timu).
e. Dida Wai mendapat wilayah Menia.
f. Jaka Wai mendapat wilayah Raijua.
Dari pembagian ini telah menyebakan terbentuknya komunitas genelogis-teritorial, dimana suatu rumpun keluarga terikat pada pemukiman tertentu.
Karena rumpun ini berkembang semakin besar maka dibentuk suatu sub-rumpun yang disebut Udu yang dikelpali oleh seorang Bangu Udu. Di Habba (Seba) terdapat 5 Udu yang nanti akan terbagi lagi menjadi Kerogo-kerogo.
5 Udu di Seba tersebut adalah:
1. Udu Nataga (terdiri dari 9 kerogo).
2. Udu Namata (terdiri dari 4 kerogo).
3. Udu Nahoro (terdiri dari 4 kerogo).
4. Udu Nahpu
5. Udu Naradi (kedua terakhir tidak terbagi dalam kerogo).
Di Sabu dan Raijua seluruhnya terdapat 43 Udu dan 104 kerogo.

V. Agama Suku & Hal-hal Menyangkut Ritual.

Sistim Kepercayaan.
Agama suku Sabu atau Agama Asli Sabu tidak diketahui namanya. Pada umunya orang menyebut agama suku Sabu dengan nama “jingitiu”, yang berasal dari kata “jingiti Au” yang diartikan atau ditafsir oleh para penginjil dan pendeta dahulu dengan nada lecehan yakni “jingi” artinya melanggar atau menolak, “ti” artinya dari dan “Au” artinya engkau (Tuhan). Jadi dapat diartikan secara harafiah bahwa Jingitiu adalah agama yang menolak Tuhan. Padahal nama ini adalah penyebutan yang berikan oleh penginjil Potugis yang datang ke Sabu pada Tahun 1625. Mereka menyebut dengan Gentios (kafir/ tidak mengenal tuhan). Yang menurut pelafalan orang Sabu adalah jingitiu. Hal tersebut dapat dilhat juga dalam penyebutan mereka terhadap agama suku di Belu yang dilafalkan oleh orang Belu dengan Dintiu.
Para Mone Ama (pimpinan agama suku) pada waktu itu menerima penyebutan tersebut karena ketidak mengertian mereka terhadap arti dari istilah/ penyebutan tersebut.
Beberapa hal mengenai sistim kepercayaan Agama Suku Sabu:
1. Orang Sabu Pecaya pada satu Zat Ilahi yang disapa dengan “Deo Ama” (Allah Bapa asal dari segala sesuatu), “Deo Woro Deo Pennji” (Tuhan pencipta semesta) atau “Deo Mone Ae” (Tuhan Maha Kuasa/ Maha Agung).
2. Segala ciptaan terdiri dari 2 unsur yang esensial, mengandung daya yang saling bertentangan, bergantungan, dan saling melengkapi. Contohnya laki-laki dan perempuan. Keduanya adalah setara dengan masing-masing fungsi yang saling melengkapi. Sehingga dalam kehidupan orang Sabu Laki-laki dan perempuan selalu dilihat sebagai suatu kesetaraan atau apa yang kenal sekarang dengan istilah “gender.”
3. Manusia harus selalu menjaga hubungan atau relasi yang baik dengan Tuhan. Jika hubungan itu baik maka disebut dengan “Meringgi” atau dingin yang mendatangkan damai sentosa, mengerru (hijau/ kesuburan) dan merede (kelimpahan). Tetapi sebaliknya dan bila terjadi kesalahan atau pelanggaran terhadap aturan atau tatanan yang ada akan mendatangkan hal-hal yang “Pana” (Panas) atau hal-hal yang berupa petaka, bencana.
4. Untuk menjaga Relasi yang harmonis antara Manusia dan Tuhan maka dalam tatanan kehidupan diatur juga tentang ritual-ritual keagaaman, hubungan kekerabatan dan hukum adat.

Tentang Nada
Nada adalah tempat beribadat bagi penganut agama suku Sabu (Agama Asli). Nada pertama didirikan Kika Ga di Kolo Marabbu (generasi 11, Miha Ngara). Nada perkembang menjadi dua, yang satu tetap di Merabbu, yang satu di Kolo Teriwu.
Pada masa Wai Waka (generasi 18) diadakan pembagian wilayah dan masing-masing wilayah didirikan Nada.
Pada masa Robo Aba (Generasi 24) terjadi perpindahan Nada dari Kolo Teriwu ke Namata. Tidak semua yang dipindahkan termasuk Eku (salah satu alat penting). Eku baru berhasil dibawa ke Namata pada masa Mata Lai (generasi 29). Dengan demikian lengkaplah sudah perlengkapan upacara bagi penduduk di wilayah Habba.
Dalam perkembangan disamping Nada di Namata ( Nada Ae Namata ) di bangun Nada di Rai Dana (Nada Ae Gurikebeu). Nada ini juga diurus oleh Mone Ama dari Namata.
a. Batu-batu (wowadu)di Nada Ae Namata, antara lain :
1. Wowadu Piga Hina ;
2. Wowadu Ngellu ;
3. Wowadu Lirru Bella ;
4. Wowadu Dahi Bella ;
5. Wowadu Lawarai (batu peringatan terhadap Hawu Miha di Teriwu;
6. Wowadu Kika Ga;
7. Wowadu Petti Ma Ratu Kaho, dan beberapa batu lainnya yang semuanya ada berjumlah 14 buah.
b. Batu-batu di Nada Ae Gurikeberu, antara lain:
1. Wowadu Ettu (batu Ulat);
2. Wowadu Lale Dahi (batu kiamat atau air bah);
3. Wowadu Lakati (batu penyakit cacar);
4. Wowadu Kolera (batu penyakit kolera);
5. Wowadu Heraba (batu penyakit serampa atau morbili); dan beberapa batu lain.
Perlu diingat bahwa batu dalam agama suku Sabu bukanlah sembahan tetapi merupakan sarana berupa mesbah untuk meletakkan korban persembahan bagi Deo.

Mone Ama (Majelis Adat & Agama).
Dalam tata kehidupan termasuk didalamnya dalam urusan pemerintahan, keagamaan diatur oleh sebuah sistim kemajelisan yang mempunyai fungsi masing-masing. Majelis ini disebut dengan Majelis Mone Ama. Bagi orang Sabu Agama dan Hukum Adat merupakan dasar bagi kehidupan mereka, naik dalam bidang sosial, ekonomi, kesenian. Sehingga segala aspek kehidupan tersebut harus mencerminkan totalitas yang serasi dengan agama (agama suku).
Di Habba pada mulanya Majelis Mone Ama ini cuma terdiri dari 4 orang (masa Roba Aba, genarasi 24) masing-masing adalah:
• Deo Rai
• Do Heleo.
• Rue.
• Pulodo.
Dari majelis ini, yang memimpin kemajelisan adalah yang memangku jabatan sebagai Deo Rai. Hal tersebut dapat dilihat dalam hal perlengkapan upacara serta urutan-urutan dalam pelaksanaan upacara.
Dalam perkembangannya dengan melihat kebutuhan dan permasalahan dalam masyarakat yang semakin kompleks maka jumlah Mone Ama juga bertambah. Di Habba berkembang menjadi 9 orang, yakni:
• Deo Rai.
Tugasnya sebagai pemimpin, penegak syarat agama dan adat serta menjalankan pemerintahan. Memimpin upacara yang bersangkutan dengan tugasnya antara lain; Puru Hogo, Baga Rae, Jelli Ma, Hanga Dimu, Daba, Banga Liwu, Hole. Selain itu juga ia bertugas dalam masalah tanah, paertanian (Kacang hijau) dan yang terakhir adalah tugasnya sebagai pemimpin upacara untuk memanggil hujan.
• Pulodo.
Tugasnya adalah masalah pertanian (padi), kesuburan tanah, kegiatan-kegiatan musim kemarau termasuk sabung ayam, mendampingi Deo Rai dalam upacara Puru Hogo dan upacara lainnya, berkoordinasi dengan Bengu Udu dalam urusan pemerintahan.
• Doheleo.
Mengawasi agar adat ditegakkan secara tertib dan teratur, melihat setiap peristiwa (bencana) yang terjadi karena pelanggaran adat. Memimpin upacara tyolak bala. Masalah pertanian (jagung Rote/ sorgum) serta urusan kesuburan tanah.
• Rue.
Melakukan upacara menghilangkan akibat dari perbuatan haram (tolak bala). Menyelesaikan bencana alam, hama dan wabah penyakit.
• Latia
Memimpin upacara pentahiran yang bersangkutan dengan korban manusia, tanaman dan rumah yang terbakar.
• Bakka Pahi.
Memimpin upacara pentahiran yang bersangkutan dengan korban manusia, tanaman dan rumah akan tetapi tidak terbakar.
• Maukia.
Menangani segala urusan menyangkut peperangan. Menangani apa yang bersangkutan dnega barang-barang yang bersifat haram dari luar, lewat upacara memuat dalam suatu perahu dan dihanyutkan ke laut.
• Kenuhe.
Pada waktu perang dan ada musuh yang terbunuh maka tuganyalah untuk memangku mayat sementara upacara berlangsung.
• Tutudalu.
Setiap mayat dalam pangkuan Kenuhe dikuliti kulit kepala dan ditanam dalam nada dan hal ini dilakukan oleh Tutudalu.

Kalender Adat dan Upacara menurut Siklus Kehidupan Orang Sabu.
Tidak ada satupun aktivitas hidup orang Sabu selama satu tahun kalender yang dapat terpisah dari kehidupan keagamaan. Pola ini ini didasarkan atas 9 amanat Deo Ama, yakni:
• Puru Hogo
• Baga Rae
• Jelli Ma
• Hanga Dimu
• Daba • Banga Liwu
• Hole
• Hapo
• Made

Hal tersebut merupakan syarat agama sekaligus merupakan adat orang Sabu, terutama bagi mereka masih menganut agama asli.
Dalam penyelenggaraan pemenuhan 9 amanat ini maka pelaksanaannya tidak telepas kaitannya dengan kalender kegiatan tahunan. Adapun kalender Tahunan tersebut adalah:

1. Kelila Wadu (Jul-Agust)
2. Tunu Manu (Agust-Sept)
3. Bagarae (Sept-Okt)
4. Ko’o Ma (Okt-Nov)
5. Naiki Kebui (Nov-Des)
6. Wila Kolo (Des-Jan) 7. Hanga Dimu (Jan-Ferb)
8. Daba Akki (Ferb-Mart)
9. Daba Ae (Mart-April)
10. Banga Liwu (April-Mei)
11. A’a (Mei-Juni)
12. Ari (Juni-Juli)

Pelaksanaan 9 Amanat Deo:
• Puru Hogo; diadakan pada bulan Kelila Wadu, saat akan dimulainya kegiatan iris tuak & dan masak gula yang merupakan salah satu bahan makanan pokok orang Sabu.
• Baga Rae; diadakan pada akhir bulan Baga Rae, dengan tujuan;
Sebagai tanda akhir dari kegiatan iris tuak dan masak gula.
Menyumbat mulut tanah agar jangan menelan korban.
Mengecek tentang curah hujan pada musim penghujan yang akan datang.
Memagari daerah agar terhindar dari musuh dan malapetaka.
Mempererat tali persaudaraan antara warga udu dan kerogo.
• Jelli Ma; diadakan pada bulan Ko’o Ma sebagai upacara membersihkan kebun.
• Hanga Dimu; diadakan pada bulan Hanga Dimu, yakni Deo Rai dan Pululodo memulai panen Kacang Hijau dilanjutkan dengan acara Nga’a Hanga Dimu. Setelah itu baru warga boleh memulai panen kacang hijau.
• Daba; dalam daur hidup dikenal tahap; lahir (metana), pemberian nama (pe wie ngara), hapo (pengakuan tentang sahnya anak), daba (baptis), leko wue (belajar memakai pakaian), bagga (sunat) , potong gigi dan perkawinan (peloko nga’a) serta kematian (made).
Daba merupakan rangkaian acara yang dilaksanakan pada hari ketiga setelah panen sorgum dan pesta pado’a. Daba diadakan pada bulan Daba Akki.
• Banga Liwu; diadakan pada bulan Banga Liwu (malam ke 9 dari bulan baru). Dalam rangkai upacara tersebut bertujuan untuk:
Mendinginkan obyek-obyek seperti kebun kapas, kebun kelapa, pinang dan kandang ternak.
Penghormatan terhadap arwah leluhur dengan membawa sirih pinang ke pekuburan leluhur dan malamnya diadakan “Pe-do’a bui ihi”.
• Hole; dilakukan pada hari ke 7 setelah purnama pada bulan Banga Liwu. Salah satu tujuannya adalah melepaskan celaka ke laut serta menutup mulut laut agar hasil yang dari darat jangan terhisap atau tertelan ke dalam laut. Atau dapat dikatakan dengan istilah buang sial.
• Hapo; merupakan acara pengakuan terhadap anak yang dilahirkan.
• Made; upacara yang bersangkutan dengan kematian.

VI. Penutup.
Dan dari hal-hal yang tersebut diatas maka saya ingin menyampaikan tentang beberapa hal untuk bagian akhir dari tulisan ini bahwa saya sangat tidak sependapat dengan penyebutan jingitiu bagi Agama Suku Sabu. Penyebutan tersebut merupakan penyalahan arti dan merupakan penghinaan bagi orang Sabu serta menujukkan ketidak tahuan atau kurang mengertinya orang tentang tatanan kehidupan, adat istiadat dan Sistem kepercayaan orang Sabu. Saya lebih setuju dengan pendapat dari:
1. Pdt. Victor I. Tanya, PhD, yakni: Melihat pada kenyataan bahwa sebagian besar penduduk di Tanah Air kita yang belum menganut salah satu agama tidak dapat begitu saja digolongkan sebagai orang yang tidak ber-Tuhan atau kafir. Dalam kepercayaan yang beragam di muka bumi persada kita, kesemua pemeluknya mempunyai kesadaran, kepercayaan dan praktek-praktek beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Perlu diingat bahwa apa yang disebut dengan Politeisme (menyembah Allah yang Banyak) sebenarnya tidak ada tetapi cuma karena ada kesalah pahaman tentang Zat Ilahi yang satu yang menampakkan wujudnya dalam berbagai bentuk. Agama-agama sukupun tidak politeisme namun monoteisme. Sehingga sungguh adil bila kepercayaan-kepercayaan tersebut diberikan kedudukan hukum, sosial dan politik yang sama dengan agama lain.

2. Pdt. DR. Eka Darma Putra, dalam artikelnya berjudul “Inter-Relationship Among Religious Group In Indonesia”. Dalam karangan tersebut mengangkat beberapa renungan bagi kita: Apakah kita adalah saksi dari Kristus ataukah saksi dari Agama Kristen? (Kisah 1:18). Kalau kita saksi dari Kristus, maka hendaknya kita renungkan bahwa Allah yang diperkenalkan oleh Yesus adalah bukan Allah dari suatu agama tertentu, Allah yang hanya disembah secara ekslusif melalui ritus tertentu pada tempat tertentu? Bukankah Yesus telah merelatifkan klaim yang bersifat absolut dan ekslusif dari satu agama tertentu? (Yoh 4:21-23 & Mat 7: 21- 23) Apakah yang paling penting bagi Yesus, ajaran dan kata-kata yang indah ataukah perbuatan yang sesuai dengan kehendak Allah. Atau yang lebih tegas yang diambil dari bacaan Kisah 24:14 yakni bahwa: Apakah yang dimaksudkan dengan agama Kristen dan para pengikutnya yang percaya kepada Yesus yang adalah Jalan kepada Tuhan, ataukah yang dimaksudkan Yesus pada bacaan itu adalah bukan agama yang benar, melainkan Jalan yang benar yang dimaksudkan oleh Yesus yaitu Dirinya sendiri?

Dengan demikian seiring dengan hal tersebut maka kita selalu diingatkan agar kita jangan mudah untuk mencela agama atau kepercayaan lain termasuk agama suku. Tapi marilah kita selalu mengemban tugas yang telah dimandatkan kepada kita sebagai saksi Kristus.


DAFTAR BACAAN

1. Pdt. Victor Imanuel Tanya PhD; Hidup Itu Indah, BPK, Jakarta, 1989.
2. Soemarjono Danoewidjojo: Beberapa Segi Struktur Kemasyarakatan Sawu, Majalah Hukum Adat Tahun ke-2, no. 1 dan 2, MIPI, Yogyakarta.
3. Daniel J. Adams: Teologi Lintas Budaya, BPK Jakarta 1992.
4. DR. Nico L. Kana: Dunia Orang Sabu; disertasi, Jakarta 1978.
5. Robert Riwu Kaho: “Orang Sabu dan Budayanya” (Suatu Gagasan ke Arah Perubahan, Pebaharuan dan Kesadaran Membangun Manusia dan Budaya dalam Memasuki Milenium ke-3, Panitia Sidang Majelis Sinode GMIT XXV di Sabu, Sabu, 2000.

1 comment:

Anonymous said...

KEBOHONGAN ISLAM YANG SELAMA INI DITUTUPI TELAH DIBONGKAR HABIS DIBLOG INI --> BLOG MANTAN MUSLIM INDONESIA (klik disini)