Tuesday, December 30, 2008

.:Bahasa Sabu sebagai salah satu identitas Orang Sabu


Kemaren aku nelpon ibuku buat nanyain beberapa kata dalam bahasa Sabu yang akan kumsaukan ke blog-ku. Di awal pembicaraan kami , sebelum aku bertanya , beliau langsung menimpali ku dengan satu sentilan yang menurutku cukup membuat ku malu... Begini katanya " Ama..Ama... baru 10 Tahun tinggal di manado, sudah lupa bahasa Sabu ..". Aku langsung mencoba mengelak dengan menjawab " Iya Ma.. soalnya di sini sudah tidak pernah berbahasa Sabu lagi..". Tapi setelah aku mengakhiri pembicaraan ku dengan beliau , aku langsung sadar bahwa sesuatu .. entah itu budaya , kebiasaan apalagi bahasa , apabila jarang atau tidak pernah lagi diulang atau dilakonkan.. sedikit demi sedikit akan terkikis bahkan hilang dari memory. Nah.. berangkat dari situ aku berjanji dalam hati , andai aku bisa mengajarkan Bahasa Sabu ke istri dan anak - anak ku yang nota bene bukan orang asli Sabu dan mereka bisa menggunakannya .. entah itu cuma beberapa kata dasar.. wah betapa bahagianya aku.
Menilik dari cerita ku di atas.. saya mengajak.. semua warga Sabu di perantauan , khususnya yang jauh dari sabu dan sekitarnya .. marilah kita mengajarkan beberapa kata saja dalam bahasa Sabu kepada Suami / istri / anak-anak kita, supaya selain mereka senantiasa merasa bahwa mereka juga bagian dari kultur sabu yang luhur itu , juga agar di kemudian hari kelak mereka senantiasa mengingat di mana tanah nenek moyang mana mereka. Jika bahasa Inggris saja kitab bisa menjadi fasih menggunakannya .. mudah-mudahan dengan bahasa Sabu ... karena bagaimanapun Bahasa Sabu adalah salah satu identitas yang bisa menunjukkan bahwa kita adalah Orang Sabu

Kebudayaan Sabu Bisa Hilang

Kelompok kesenian tradisional Hawu Miha dari Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur, tampil di Teater Utan Kayu, Jakarta, pada Selasa (3/8). Mereka menampilkan seni tari, nyanyian, pameran tenun ikat, dan penjelasan tentang kebudayaan suku Sabu. Pentas di Jakarta itu bagian dari persiapan mereka untuk pameran di Museum London mulai 8 Agustus mendatang. Tokoh yang berperan di belakang keberhasilan kelompok Hawu Miha yang dipimpin seniman tradisional Elo Lado untuk menembus Jakarta dan London itu adalah Genevieve Duggan MA, seorang antropolog kebudayaan yang tinggal di Singapura. Duggan mengantongi gelar master of art dalam bidang antropologi di Universitas Heidelberg, Jerman. Sejak 1994, Duggan melakukan riset antropologi kebudayaan suku Sabu. Riset itu hingga kini belum tuntas, namun Duggan telah berhasil menerbitkan buku berjudul Ikats of Savu; Women Weaving History ini Eastern Indonesia terbitan White Lotus, Bangkok, 2001. Setelah pertunjukan di Teater Utan Kayu, Jakarta, wartawan Koran Tempo mewawancarainya melalui surat elektronik pada Jumat (6/8). Berikut kutipannya. Berapa lama riset Anda dan apa tujuannya?
Saya melakukan riset selama 10 tahun sejak 1994. Pertama kali saya tinggal di Pulau Sabu selama dua minggu. Tujuannya dulu untuk mengidentifikasi motif kain tenun Sabu, kemudian menganalisis organisasi sosial masyarakat Sabu, mencari hubungan antara motif dengan organisasi sosial, kebudayaan, dan sejarah Sabu. Saya juga meriset bagaimana masyarakat Sabu berpikir dan menstruktur ruang dan waktu.Apakah riset Anda untuk kepentingan pribadi atau dalam rangkaian untuk studi?
Awalnya untuk kepentingan pribadi, kemudian menjadi studi antropologi.Metode apa yang Anda pakai?
Riset lapangan, wawancara formal dan informal, pakai alat perekam kalau boleh, atau menulis catatan.Apakah riset Anda tuntas?
Belum selesai, mungkin tidak pernah selesai, karena kompleks sekali.Bisa Anda ceritakan diri Anda lebih jauh?
Saya datang ke Jakarta dengan suami saya pada 1988. Saya ikut kelompok Ganesha Society dan belajar sebanyak mungkin buku-buku tentang kebudayaan etnis Indonesia. Setelah itu saya banyak bergaul dengan orang-orang asing di Jakarta. Pada 1990, saya ikut perjalanan keliling ke pulau-pulau Nusa Tenggara Barat dan Timur. Saya menemani turis dan sering berceramah tentang kebudayaan di pulau-pulau tersebut. Saya pertama kali datang ke Sabu pada 1990 dengan kapal lumba-lumba Spice Island Cruises.Mengapa Anda memilih Sabu sebagai subyek riset?
Karena saya tidak dapat cukup informasi tentang Sabu untuk turis, saya mulai bertanya langsung ke masyarakat Sabu dan tinggal di sana pertama kali pada 1994. Sesudah 1994, saya kembali dua kali setiap tahun ke Sabu, dan tinggal beberapa minggu setiap kali kunjungan. Untuk membalas jasa atas bantuan mereka untuk riset saya, saya kemudian membantu di sana juga dengan menyediakan obat-obatan, buku sekolah atau buku rekreasi, dan komputer untuk SMA. Waktu krisis mulai melanda Indonesia, saya mencari donatur ke Jakarta untuk mengirim bantuan ke Sabu setiap tahun.Apa kekhasan Sabu menyangkut ekspresi seni?
Kesenian bukan tujuan utama dari tenun ikat. Setiap kain mempunyai pesan. Ini tujuan utamanya. Oke, kain-kain mereka kelihatan indah, tetapi tidak bebas dalam bermain warna. Kain tenun ikat hanya mengenal tiga warna: biru-hitam, merah, dan putih. Ini warna utama orang Austronesia. Mereka tidak bebas dengan struktur atau komposisi kain, karena kain dipakai seperti kartu tanda penduduk atau paspor, untuk identifikasi semua kelompok wanita dari beberapa keturunan nenek moyang mereka. Apakah masyarakat Sabu memiliki apresiasi yang tinggi terhadap seni?
Mereka tidak memiliki apa yang Anda sebut apresiasi yang tinggi itu dibandingkan dengan kebudayaan suku lain. Mereka cukup terisolasi karena masih banyak daerah di Sabu yang tak mempunyai listrik, artinya tidak punya TV, dan pengaruh dari media serta dari luar negeri mungkin kurang. Karena itu, mereka menyimpan dan menjaga tradisi lebih lama daripada orang-orang dari kebudayaan lain.Apakah mereka mempunyai bakat seni lebih besar dari suku lain di Indonesia? Bagaimana misalnya bila dibandingkan dengan suku Asmat di Irian?
Tidak bisa dibandingkan, karena Asmat berekspresi lewat ukiran, sedang Sabu lewat tenun ikat.Mengapa Anda memilih kelompok seni tradisional yang dipimpin Elo Lado untuk mewakili penari Sabu?
Elo Lado adalah asisten saya di lapangan selama 10 tahun. Dia dekat dengan masyarakat Sabu yang masih menganut agama yang masih tradisional. Dia mengerti cara berpikir masyarakat Sabu dan menjaga warisan tradisi. Dia juga seniman. Dia mengerti cara mengikuti upacara ritual. Kesenian Sabu bagian dari agama dan budaya mereka. Apa nama agama mereka?
Namanya Jingi Tiu. Mereka bersembahyang kepada arwah nenek moyang mereka, agar mereka membantu. Menurut kepercayaan mereka, para arwah nenek moyang masih berpengaruh dalam kehidupan mereka. Mereka tidak berani berbicara dengan Tuhan. Agama begitu disebut animisme, tetapi istilah itu tidak tepat benar. Ini perlu dijelaskan lebih panjang lebar dan membutuhkan waktu. Dilemanya pada generasi sekarang, tidak ada lagi agama Jingi Tiu, karena banyak orang memilih agama yang lebih modern (Kristen, Katolik, Islam). Kebudayaan Sabu bisa hilang kalau agama tradisional hilang. Orang Sabu harus sadar bahwa mereka harus menjaga tradisi supaya tidak hilang. Ini tujuan Elo Lado.
Copied from : http://www.korantempo.com/news/2004/8/9/Budaya/39.html

Sunday, December 28, 2008

.:Silent Night in Savu Language
.:Lagu Malam Kudus dalam Bahasa Sabu

Wahai segenap warga Sabu , baik yang ada di Sabu maupun yang saat ini sedang bermukim di perantauan , dengan bangga dan penuh sukacita marilah kita simak hasil kerja dan karya yang begitu indah dari Saudari Francesca Von Reinhaart alias Ina Tali ( Now, In Australia ) , yang telah berusaha menghadirkan lagu "SILENT NIGHT" atau "MALAM KUDUS" kedalam bahasa Sabu dengan judul " Me'da Milu ". Semoga lagu ini lebih memperkaya perbendaharaan lagu Sabu sehingga bisa juga kita nyanyikan pada saat merayakan Natal baik di tahun ini maupun di masa yang akan datang.
Terus terang saya senang sekali menemukan lagu ini ... Dan buat Ina Tali .. selamat atas peluncuran lagu ini.




Pembentukan Kabupaten Sabu Raijua patut diberikan apresiasi dan penghargaan

Gubernur Nusa Tenggara Timur Trans Lebu Raya diruang rapat DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam rapat acara pembukaan sidang III DPRD provinsi Nusa Tenggara Timur tahun anggaran 2008 mengatakan seiring dengan pergeseran paradigma dalam rangka penyelanggaraan pemerintahan daerah dari sentralistik ke dessentralistik dalam praktik kehidupan politik ketatanegaraan sudah berimplikasi semakin memadainya kewenangan untuk daerah-daerah otonom dalam mengatur dan mengurus urusan wajib maupun urusan pilihan bersamaan dengan itu semakin tingginya pula aspirasi politik rakyat untuk memekarkan daerah otonom menjadi dua atau lebih daerah otonom untuk meningkatkan kwalitas penyelenggara tugas-tugas pemerintahan menuju tercapainya suatu tatanan kehidupan masyarakat yang maju mandiri sejathera adil dan makmur

Menurut lebu raya untuk itu kegigihan perjuangan rakyat dan pemrintah kabupaten kupang dalam memekarkan kabupaten kupang sudah mendapat pengakuan dari pemerintah melalui sidang paripurna d-p-r r-i tanggal 29 oktober 2008 yang secara konstitusional sudah menyetujui pembentukan kabupaten sabu raijua karna itu patut diberikan apresiasi dan penghargaan yang tinggi untuk seluruh pemangku kepentingan terutama untuk rakyat dan pemerintah kabupaten kupang yang secara gemilang sudah berhasil memperjuangkan terbentuknya kabupaten sabu raijua.

Leburaya memintah seluruh komponen masyarakat di kabupaten kupang teristimewa di sabu raijua supaya tidak berpuas diri dan menganggap diri sebagai pahlawan dalam pembentukkan kabupaten sabu raijua tapi hendaknya memaknai daerah otonom baru itu sebagai motivasi instrinsik setiap warga untuk memberikan kontribusi yang optimal dalam rangka meningkatkan efektivitas pemerintahan di daerah otonom baru dengan demikian akan tercapainya suatu tatanan kehidupan masyarakat yang mandiri sejathera lahir dan batin secara demokratis dalam ikatan negara kesatuan RI.

Copied from : http://radiosahabat.blogspot.com

Friday, December 19, 2008


She's My Little First .....
Blacky but Sweety ... I Love You Babe...
Be U'r Papa Sweety Darling ...... Now and Forever .......
Be U'r Mam Light Candle in the Dark ...
Be Our Exotic Melody in the Silent ......
Your's
Papa & Mama

Tuesday, December 16, 2008

Thank's God.. Sabu ada di Peta

Monday, December 15, 2008

Anak - anak Sabu , aset tak ternilai


Jika membaca judul di atas , sebenarnya tidak ada yang istimewa , karena pada dasarnya anak adalah aset yang memang tak ternilai. Tapi jika anda adalah orang Sabu dan kebetulan berada di perantauan , maka tidaklah salah jika anda akan mengamini judul tesebut sebagai sebuah pernyataan yang sungguh mengandung makna yang mendalam.
Bagaimana tidak ? Belajar dari pengalaman saya yang dilahirkan dan dibesarkan di Ende Flores, yang nota bene di sana jumlah masyrakat perantau asal Sabu cukup banyak , maka amatlah miris melihat begitu banyak anak - anak Sabu yang masih perlu diperhatikan khususnya dalam di dalam pengembangan dan pemenuhan kebutuhan mereka akan pendidikan yang layak.
Siapa sih yang tidak mengakui kalau orang Sabu memilki semangat dan keinginnan yang kuat untuk bekerja keras. Dimana - mana , khususnya di Ende , kita akan melihat segenap orang Sabu perantau berkutat dengan banyak sekali dunia kerja , mulai dari PRT ( Pembantu Rumah Tangga ) , Buruh , Tukang , Petani , Pedagang , Sopir , Nelayan , Pegawai bahkan Pengusaha , dsb. Akan tetapi jika kita meneropong masuk kedalam kehidupan mereka , maka akan bayak juga kita jumpai diantara keluarga - keluarga Sabu perantau tersebut , masih banyak ekploitasi terhadap sumber daya khususnya anak - anak. Anak - anak yang harusnya diberi kesempatan untuk sekolah dan mengenyam pendidikan yg semestinya banyak yang sudah tidak lagi bersekolah. Ada yang putus di tengah jalan , ada juga yang karena desakan ekonomi tidak mampu bertahan sehingga memilih untuk bekerja dari pada berada di bangku sekolah.
Alasan ekonomi adalah faktor utama penyebab banyak anak putus sekolah. Tetapi dengan banyaknya sekolah-sekolah yang memberikan biaya pendidikan gratis , maka sebenarnya alasan ekonomi sudah tidak bisa dijadikan alasan utama lagi , tinggal keinginan dan kemauan orang tua membimbing dan mengarahkan anak-anaknya agar mau bersekolah. Baik penjelasan tentang manfaat pendidikan bagi dirinya sendiri , maupun bagi orang tua dan juga bagi orang lain di sekitarnya. Juga yang sangat diharapkan adalah peran dari Tokoh - tokoh ( Baca : Orang yang dituakan ) , agar mau memberi motivasi dan arahan pada setiap kesempatan kepada segenap warga Sabu agar mau memperhatikan pendidikan anak-anak mereka.
Pada kesempatan ini , saya menghimbau kepada kita semua warga Sabu , baik yg di Sabu maupun yang ada di tanah perantauan , marilah kita memperhatikan anak-anak kita dan menjaga mereka sebagai mutiara-mutiara yang pada saatnya nanti akan memancarkan kilau-nya dan memberikan kebanggaan kepada kita semua sebagai Orang Sabu ( Do Hawu ).
Mungkin tulisan ini biasa-biasa saja, tapi inilah fakta dan perlu mendapat perhatian kita semua.

Wednesday, December 10, 2008

Orang Sabu Makan Cacing Laut dan Gula Lontar


Sabu adalah kisah sebuah pulau terpencil yang begitu penuh dengan cerita menarik tentang pohon lontar atau Borassus sundaicus Beccari. Dalam filosofi Sabu, pohon lontar merupakan bagian penting dalam kehidupan mereka, makanan, tempat tinggal, peralatan hidup sehari-hari bahkan sesudah matipun orang Sabu dikuburkan dan dikenang dengan hasil-hasil dari pohon lontar.


Makanan pokok orang sawu adalah sirup lontar yakni gula hasil sadapan mayang pohon lontar. Makanan lain yang merupakan suatu hidangan bagi penduduk sabu adalah sejenis cacing laut Leodice Viridis yang sering disebut Nyale. Cacing-cacing ini muncul dalam jumlah besar di pantai selatan. Orang Sabu mengkonsumsinya dengan cara diasami dengan cuka lontar kemudian dimakan sedikit-sedikit sebagai perangsang selera, barang kali dengan arak, nyale adalah makanan yang lezat(*)

Monday, December 08, 2008

Royalty of Savu & Rai Jua



These are among the earliest photos taken of Savunese, dating from ca. 1880:

Du Ae (Kings), Beni Ae (Queens) and Fettor (Governors)
of Savu and Rai Jua

Rai Jua Principality

At the end of the 19th century, Rai Jua was home to 25 tribes; including Oedjoe D'ima, Kolo Hab'a, Lede Talo, Koro (Koroh), to name a few. The Dutch called the island Randjoea and also Bendjoar. At that time it had 1.300 inhabitants, among which many were Christians.

1) Lomi Tulu (died 1794).
2) Raja Tulu (brother 1794 - ?) There is also mention of a J'ara Lay in this same year (1794), so perhaps the two brothers were actually Fettors/vice-rulers.
3) B'aku Ruha was the first King recognized by the Dutch.
4) (Ama Mehe) Tarie..... (Messe Tari) (1830-1868).
5) (Ama Loni) Kudji.....(1868-death 7/4/1915).
6) (Ama Med'a) Lay..... (son; 1915-19 the first Christian King, taking after baptism the extra name of Paulus, born 1865; until 16/6/1918 last independent King).
7) Pia Lay (died 1954).
8) Jeremias Huru (Heremia Huru; installed 1956; when rule of Savu-area became more together, he became also gov. fettor; 2nd one; born ca. 1901; died 18/4/1990; his son is Ama Kudji, if he is King now is not known).
9) Herminus Radja Kudji (first Gov/Fettor; probably not of royal lineage.
10) Bu Weler was a principality ruler; but probably not of royal lineage; f.i. in 1986; because Rai Jua was not easy to reach, was made seperate sub-district) (cq) traditional ruler. "Bu" is used to address an adult (male) as in "Your Excelency".
11) In 1905-1907, Radja...(Ama Dj'aga) was Fettor, or vice-Regal of Rai Jua. His contract with the Dutch was recognized 3/6/1885. Supposedly that the Fettors of Savu also had to sign a contract, so that their status could be confirmed by the Dutch.
12) Lay Nj'eb'e (Nyeb'e) (mentioned in 1767)

Heb'a (Seba) Principality

1) Kore Rohi was the 1st King recognized by Portugese.
2) J'ami Kore.
3) Hab'a J'ami.
4) Lay Hab'a.
5) Bire Lay.
6) Riwu Bire.
7) Lomi Riwu.
8) Ina Tenga (her Savunese Loving Name), (Beni Ae/Queen) died in 1684. Her first Savunese name is not known. Succeded by her nephew, a son of her brother Lay Lomi.
9) J'ara Lomi (a succesor before 1694, brother of Lay Lomi and Ina Tenga).
10) Wadu Lay (mentioned between 1710 and 1731, son of Lay Lomi, nephew of Dj'ara Lomi and Ina Tenga).
11) J'ara Wadu (son of Wadu Lay, mentioned: 1746 or '47-1761 or '67).
12) Lomi J'ara (known also as Ama Doko: his Savunese loving name. He is known from the Visit of Captain Cook in 1770 and died in November 1778. He is a son of J'ara Wadu (Dj'ara Wadu).
13) Doko Lomi (eldest son of Lomi Dj'ara 1790-1794). Some information mentioned that Doko Lomi succeded his father about ten years earlier which was from 1778.

A certain Meha Mano (Mesa Mano) was made fettor of Heb'a (Seba) after his deceased father in the year 1790. Meha is subtitute for Mesak or Mesach.

14) Riwu Doko (son;until 18..)??
15) Bire Doko (brother; until 1830)??
15) Dj'ara..... (Ama Loni)(different lineage; 1830-1859).
16) Talo Dj'ara (Ama D'ima)(son; 1859-1863).
17) (Ama Nia) Dj'awa..... (son of 16; 1863-186 .
18) Kaho Dj'awa (Ama Doko) (son; first Christian King; also named Sjarle Kaho Dj'awa; 1868-1881; died).
19) Lazarus Rohi Dj'awa (Rosi Dj'awa) (1881 - his death 12/2/1890; brother).
20) Alexander Rihi Dj'awa (1890 - his death 1901; brother).
21) Elias Ludji Radja Pono (1901 - his death 2/11/1906; brother).

The brother of 20 until 23 was King (Ama Ludji) Dimu..... of Melolo/Sumba, who ruled there f.i. in 1890.

24) Samuel Thomas Dj'awa (Logo Rihi); son of 22; 1906 ruled until his death 28/9/1935; born 16/4/1885; from 1914-1918 he was made by Dutch the chief of a sort federation of the 5 principalities of the Savu Islands.
25) Paulus Charles Dj'awa (Rohi Rihi; brother; 1935 - his death in 1963).
26) David D. Bire Ludji (of different lineage; 1963-19../died 1992).
He was also the last ruler of the Seba pricipality.

Pawe Rake was f.i. between 1905-1907 Fettor of Heb'a (Seba). His contract as such was recognized by the Dutch on 3/6/1885.

Dimu (Timu) Principality

1) Talo ....(1672).
2) Ama Rohi ....(Ama Rosi) (1676).
3) Ludji ....(1696).
4) Rohi Rano (Rosi Rano) (by 1710 until March 1731).

This Rohi Rano (Rosi Rano) ruled until March 1731 when two of his temukungs, Ama Rati ..... and Leba..... ?, rebelled, since he wished to hand over his throne to his daughter's son Hili (Sili). Ama Rati thought he had the right to become Du Ae (King). The rebels were supported by Heb'a (Seba) and Liae but Hili (Sili) slipped away to Kupang on 11 March 1731. The Dutch intervened and succeeded to bring about a successful solution. Rohi Rano (Rosi Rano) declared that he was unable to rule any more, being quite old. Therefore his daughter's son Hili (Sili) (born 1705) succeeded. Hili Hab'a ( Sili Sab'a) then governed from 1731 until his death in 1798, being succeeded by his son Elias J'ara Hili (Elias Dj'ara Sili) (1798-after 1805). In other words, he ruled an astonishing 67 years - must be something of a record in documented Indonesian history! During his reign he was known as the upper regent (hoofd-regent) of Savu. His son, Elias J'ara Hili (Elias Dj'ara Sili) who was alive 1798-1806.

5) Hili Hab'a (Sili Sab'a) (1731 until his death in 1798).
6) Elias J'ara (Dj'ara) Hili (Sili) (1798-after 1805).
6) Rewa D'aga (in 1832).
7) (Ama Hili) Hab'a.....(Sili Sab'a) ruled before 1851-18 ??.
8) Ama Lai (Lay) D'aga..... (1858-186 ??).
9) Eduard Dj'ara Ludji.
10) (Ama Piga) Dj'ara..... (1868 until his death in 1911).

Royal dynasty then extinct in direct line. Then the Fettor-lineage began to rule.

11) Saul Wé Tanja (Tanya) Ludji (Fettor of Dimu (Timu) from 1908/Fettor, ruler of Dimu (Timu) from 1911; Fettor of the Sawu-"federation" from 1918. Born ca.1890. Died:???)
12) Tanja Ludji was temporary-Fettor (1905 died 1908)
13) Radja Tanja (chief dynasty; son).
14) Ludji Wé Tanya; nephew (was known to be the last nominated fettor, but never once ruled). Died early 1990s. By the 1980s the fettors could no longer play their role and fettors' decendants could no longer be nominated to rule as fettors and are thus now commoners.

Menia (of Heb'a/Seba) Principality

1) Tero Weo was the first King recognized by the Dutch).
2) (Ama Gaja) Bengu Tagi (father of Gaja Bengu and Rehi Bengu, ruled 1760 until at least 1790).
3) Gaja Bengu (ruled until 1794, died the very year).
3) Rehi Bengu (in 1794 -...). A certain (Ama Piga) Tagi..... was named as King in 1832.
4) Tagi Rehi (Ama Gaja ); son. 1842 until 1868.
5) (Ama Lena) Rihi.....(Risi) (1868-1873. Deposed because of his excessively temparental character. In 1874 officially merged with Heb'a (Seba). The end of Menia as a principality.)

Kore Rohi of Menia (fettor?) who was succeeded by his son Dimu Kore.

Mehara (Mesara) Principality

1) Wele J'ami (Wele is a Savu variation of Willem or William and Welhemus or Wilhemus. First by the Dutch recognized King of Mehara (Mesara). For instance before 1717-1721)
2) Kore Wele (f.i. in 1752; son).
3) Dimu Kore (Ama Loni), son; before 1756-1760).
4) Rugi Dimu King from 1760; son. Not sure if he is the same as King B'uki Dimu (see 6).
5) J'aga Riwu (Fettor from 1760 & King from before 1767 until 1781).
6) B'uki Dimu (1781 (probably the sameone as mentioned in no.3) - after 1794).
7) Uli B'uki (B'oeki) (known also as Ama B'ehi (Besi); son. Probably the same as Ama Behi, who was mentioned as King in 1832. (Ruled before 1832- 186-).
9) Dju Uli (Ama Leb'e); son. 1868-1893).
10) Doko Dju (known also as (Ama Tenga) alias Dominggoes B'oeki. 1893 ruled until his death on 25/6/1914. After his death Mehara/Mesara merged with the Sawu Federation under the King of Heb'a (Seba), but retained its own rulers with a Fettor title. The crownprince, Jakob Willem B'oeki didn't want to succeed him; son of 9.).
11) B'ole Kore (nephew) A local source becomes a certain B'ore Kole alias Benjamin B'oeki as Fettor of Mehara (Mesara) in 1940. (not certain where his place is is in the dinasty lineage).
12) Wela B'oeki (nephew).
13) Wele D'ima (2nd cousin. Was an assistant of sub-district chief) of West Savu 1968-after 197- .

The Kings (with title Fettors since 1914) becomes Fettors only after a time. The first Fettor of all Sawu becomes Fettor of Mehara (Mesara).

Liae Principality

1) Kale L'odo was the 1st King recognized by The Netherlands.
2) Riwu Manu (2nd idem).
3) J'ami Riwu Manu (son 3, ruled f.i. in 1721).
4) Mone Bengu (1726-?).
5) Mone Bengu (f.i. in 174?).
6) Kore Rohi (f.i. between 1752-1756).
7) Kore Lone (King or Fettor; ruled f.i. between 1758-1760).
8) Manu Kore (before 1767 until at least 1794).

King Manu Kore of Liae ruled between 1767-1794. He was named as a minor ruler; in 1758 (as a minor, his ruling period were unknown).

9) (Ama Moye) Keloa..... (f.i. in 1832).
10) (Ama Iye) Yote.....(before 1852-1859).
11) (Ama B'aki) B'ela..... (1859-1868).

King (Ama B'aki) B'ela.... died of smallpox. In the following year, there was a smallpox epidimic, which decimated the population of the Savu Islands.

12) Hendrik Ratu Manu (Ama Amoe) Manoe..... before baptism in ca. 1874. Last King of Savu-island to become Christian. 1868-1918 as independent ruler. Date of death is unknown. When his son died, King dynasty extinct in direct line. Then Fettor-age began to rule).
13)........Riwu Ratu (19..-19..; son of 11).

Riwu Ratu was still ruling in 1936, but under the title of Fettor, because all the principalities were united by the Dutch between 1914 -1918 under Paramount-rule of King of Heb'a (Seba). Each former principality kept his own ruler. In 1905 the Fettor (vice-King) was Fettor Radja Hab'a, whose contract with the Dutch was recognized in 1894.

14) Rohi Radja Hab'a (son of the former Fettor of Liae, when Liae was still officially seperated principality, became later ruler of Liae. In 1940 he was already Fettor. Not certain if his son is now the present ruler of Liae.


Raijua.com

NB: Savunese names and words which contain the letter "S" are substituted with the letter "H" in Savunese. e.g: "Sawoe" is spelt and pronounced "Hawoe".

Copyright © 2006 Ina Tali/Francesca Von Reinhaart© Raijua.com

NB : Sebelumnya saya atas nama pribadi menyampaikan permintaan maaf yang sangat mendalam , karena sudah meng-copy tulisan & gambar ini dari : http://www.raijua.com ( tanpa sepengetahuan penulis-nya) -- JOE